Nama
: Novia Riska
Nim
: 1402055124
9
Anak Tenggelam Di Bekas Lokasi Tambang
Warga
menuntut pertanggung jawababan dari pihak perusaahan, atas apa yang telah
mereka buat dari pihak keluarga korban yang nyawa anaknya telah di renggut oleh
bekas lokasi tambang yang tidak di pertanggung jawabkan. Walaupun, keluarga
korban telah menerima beberapa bantuan dari perusahaan namun jalur hukum tetap
berlanjut. Dan kasus ini telah di tangani oleh polisi. Mengapa kasus ini tidak
kunjung jelas dan tuntas ? dan mana
tindakan yang diambil pemkot dalam, memenuhi tuntutan masyarakat seperti diberi
tanda berbahaya di dalam lokasi bekas pertambangan tersebut.
Dari
Segi hukum :
Biarpun pemkot sudah memberi Tali asih kepada keluarga
korban, bukan berarti hukum pidana yang diberikan kepada perusahaan selaku
penggali tambang itu selesai begitu saja. Perusahaan dan oknum
pemkot harusnya mendapatkan sanksi
pidana yang tercantum pada Pasal
359 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang
siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang
tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat
berwenang“, “tidak melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundang‑undangan
dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”,
“mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”.
Dari
Segi etika Pers :
Berita yang
ditulis tersebut melanggar etika pers:
1. Karena
berita tersebut tidak disertai dengan keterangan dari keluarga korban maupun
saksi.
2. Berita
menurut 9 elemen jurnalistik, seharusnya dilihat dari dua sudut pandang dari
sisi masyarakat dan sisi perusahaan maupun pemkot. Agar beritanya tidak
terkesan menekan salah satu atau memihak salah satu sisi.
sembilan bocah yang tewas di lubang
tambang di Samarinda perlu dimonitor bersama. Sebab, hingga kini, kasus
tersebut di kepolisian belum jelas ujungnya.
BERDASAR penelusuran Kaltim Post,
hampir semua keluarga korban telah menerima bantuan sebagai bentuk tali asih
dari perusahaan tambang. Namun, tentu itu diharapkan banyak pihak tidak memutus
proses hukum yang berjalan.
Media ini pun berusaha memastikan hasil penyelidikan polisi. Memang belum ada kabar menggembirakan bagi para keluarga korban.
Meski prosesnya terkesan lambat, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Antonius Wisnu Sutirta memastikan kasus-kasus tersebut jalan terus. “Masih dalam tahap penyelidikan,” jelas Wisnu kemarin. Sebagai pimpinan polisi tertinggi di Samarinda, dia masih menyayangkan minimnya tanggung jawab pemilik perusahaan.
“Reklamasi kolam tambang itu harusnya dijalankan. Kalau tidak diperhatikan ya kemungkinan masih muncul korban lain nantinya,” tegasnya.
Saat disinggung soal kasus terakhir yang menewaskan Muhammad Raihan Saputra (10), Wisnu menyebut polisi memang berhati-hati menanganinya. Mereka pun tengah meminta keterangan saksi ahli dari Surabaya. Ditanya kompetensi saksi ahli itu, Wisnu belum jauh membeberkan.
“Intinya tidak mandek. Kami juga tidak sembarangan menetapkan tersangka, karena harus dilengkapi bukti-bukti,” tegas Wisnu.
Ya, kasus meninggalnya Raihan pada 22 Desember 2014 itu memang langsung berdampak viral. Saat dia ditemukan tewas di lubang tambang yang tidak direklamasi milik PT GBE di Jalan Padat Karya, Sempaja Utara, Samarinda Utara, orangtua korban langsung beraksi. Mereka membuat petisi yang ditandatangani 10 ribu orang. Petisi menutup lubang tambang itu telah diserahkan kepada menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Komnas HAM.
Selain menunggu keterangan saksi ahli rampung, polisi menunggu hasil pemeriksaan kondisi air kolam yang menewaskan Raihan ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri di Surabaya.
Media ini pun berupaya memastikan kembali progres penyelidikan polisi pada satu per satu kasus kematian sembilan bocah di lubang bekas tambang. Mulai kasus pada 13 Juli 2011 ketika tiga anak tewas di lubang bekas tambang batu bara yang diduga milik PT HC di Sambutan, hingga kasus Raihan (selengkapnya lihat grafis). Hasilnya, penyelidikan semua kasus itu memang belum banyak kemajuan. Kapolresta Samarinda pun menyatakan belum bisa membeberkan detail progres satu per satu kasus tersebut. “Tapi, seharusnya ini jadi perhatian. Baik bagi orangtua dan pihak pengusaha batu bara,” tegas Wisnu. Perhatian dalam arti sama-sama menjaga. Dari perusahaan tambang, bisa dengan memberikan tanda larangan, pembatas, serta penjaga, di setiap bekas lubang tambang.
Di sisi lain, Kepala Badan Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (BLU) Universitas Mulawarman (Unmul) Sarosa Hamongpranoto berpendapat, sembilan bocah yang meninggal di kolam bekas tambang adalah cerminan lemahnya tanggung jawab pihak perusahaan.
Pengusaha yang memiliki kewajiban dalam mereklamasi lahan justru tidak patuh. Setelah mengeksploitasi, reklamasi tidak dijalankan. Galian dibiarkan menganga. Ironisnya, Pemkot Samarinda selaku pengawas tidak menindak tegas. Apalagi menginventarisasi berapa banyak lubang yang mengancam.
“Pemkot harus melindungi warganya termasuk anak-anak kecil. Oleh karena itu, harus ada action dari pemkot. Pengusaha juga harus mematuhi kewajibannya melakukan reklamasi,” tuturnya.
Sejauh ini, sebut dia, tidak ada program terencana dalam mengelola kolam bekas tambang batu bara. Karena itu, ancaman bagi warga sekitar belum berhenti. “Kalau hanya dipasang papan pengumuman, tidak efektif. Area galian harus dipagar. Pengamanannya harus ada,” sambungnya.
Sarosa kemudian menyoroti kinerja kepolisian dalam melakukan penyelidikan. Sejak kasus tiga anak meninggal sekaligus di kolam eks tambang batu bara pada 13 Juli 2011, belum ada satu pun pihak yang dinyatakan bertanggung jawab. Hasilnya tidak ada efek jera, sehingga kelalaian terus terjadi.
“Mestinya harus action karena ini sudah merenggut nyawa orang lain. Polisi harus sigap melakukan tindakan dalam rangka pencegahan, tidak ada efek jera,” sesalnya.
Duduk permasalahannya disebut Sarosa jelas, korban meninggal akibat faktor kelalaian. Namun, sampai sekarang tidak ada kelanjutan proses yang ditangani oleh kepolisian. “Ini masalah kelalaian. Ada sesuatu yang tidak dilaksanakan, ada pelanggaran. Segera dilakukan tindakan sehingga tidak ada korban lain,” tegasnya. (*/dra/riz/che/k8)
KASUS YANG
HARUS TUNTAS
13 Juli
2011
Tiga anak
tewas di lubang bekas tambang batu bara yang diduga milik PT HC di Sambutan.
Mereka adalah kakak beradik Junaidi (13) dan Ramadhani (11), serta tetangga
keduanya, Miftahul Jannah (10). Bocah-bocah itu tinggal di Jalan Pelita 2, RT
5, Kelurahan Sambutan.
Perkembangan:
Disebut mandek dari sisi hukum pidana. Pemkot hanya memberi tali asih.
24
Desember 2011
Dede
Rahmat (6) dan Emaliya Raya Dinata (3), dua bocah bertetangga, tewas di
belakang Perumahan Sambutan Idaman Permai Blok HG, Jalan Pelita 7, RT 30
Kelurahan Sambutan, Kecamatan Sambutan. Mereka tenggelam di lubang yang diduga
bekas tambang sekitar 300 meter dari perumahan.
Perkembangan:
Disebut mandek dari sisi hukum pidana. Pemkot hanya memberi tali asih.
25
Desember 2012
Maulana
Mahendra (11) tenggelam di galian bekas tambang batu bara di Palaran. Korban
tinggal di Blok B, RT 18, Simpang Pasir, Palaran, Samarinda.
Perkembangan:
Penegakan hukum pidana tidak berlanjut dan tidak diketahui publik.
8 April
2014
Nadia
Zaskia Putri, murid kelas 5 SD, meninggal di galian bekas tambang batu bara
diduga milik PT CR, juga di Palaran.
Perkembangan:
Kasus hukum tidak terdengar dan keluarga menerima tali asih.
22
Desember
2014
Muhammad
Raihan Saputra (10 tahun), siswa kelas 4 SD, tewas lemas di lubang bekas
tambang batu bara yang tidak direklamasi. Lubang yang terletak di Jalan Padat
Karya, Bengkuring, Sempaja, Samarinda Utara, itu diduga milik PT GBE.
Perkembangan: Orangtua korban membuat petisi yang ditandatangani 10 ribu orang. Petisi menutup lubang tambang telah diserahkan kepada menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Komnas HAM.
30 April
2015
Muhammad
Naufal Madiansyah (12) berenang di lubang yang diduga bekas tambang di Loa
Bakung, Sungai Kunjang. Dia tenggelam dan meninggal.
Sumber:
Bank Data Kaltim Post, Jatam Kaltim