Raysyahdan Pramana
Atmojo
1402055170
Delapan Bocah Tewas
di Lubang Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai
Setidaknya
delapan bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur
hingga saat ini. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran.
Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenang di bekas galian
tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada bulan lalu.
Namun hingga kini lubang maut
tersebut tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya
sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan seluas sekitar 15 X 20
meter tersebut hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila
dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian
terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang pinggir kolam masih
terlihat jelas bekas kerukan eskavator dan singkapan-singkapan batubara yang
belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat di
pinggir jalan raya, tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teronggok
begitu saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT 48 Kelurahan
Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah
mendapat penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun buah
milik warga.
Hanya saja, Pemkot Samarinda melalui
pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan pemerintah terlihat memang abai. Dan memang
apa yang dikhawatirkan warga pun terbukti. Selain sudah merenggut nyawa,
intensitas banjir di daerah RT 48 yang berada tak jauh dari lubang semakin
tinggi.
Bukan hanya akfititas pengerukan
yang mendapat penolakan dari warga, aktifitas pengangkutan batu bara (hauling)
yang melalui beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun
karena ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya
diijinkan. Dikatakannya, pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu
bara ke dalam karung – karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti
kemas. “Jadi sebetulnya masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Kaltim berencana akan mengambil upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau
keluarga menempuh jalur hukum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot
Samarinda harus bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,”
kata Merah Johansyah, DimisiatorJatam.
Sementara itu, Wakil Walikota
Samarinda Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah
ada korban jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut kecelakaan dan
memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait kinerja
penambang, menurut Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan
Samarinda. “Apakah lubang ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini
masih aktif tambang. Kalau area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga
warga yang melanggar kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi. Pemkot harus ada penelitian yang lebih
objektif, tepatnya adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Jatam
berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa“, “karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP
maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak melakukan pengawasan“,
“terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya kerusakan
lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi.
“Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah
Johansyah
Dari penelusuran Jatam Kaltim kata
terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang
dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak
memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan
yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam,
perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT Energi
Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua
untuk skala Kuasa Pertambangan (KP ) di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa
(IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi sejak 9
November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang awalnya
meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4 kelurahan
sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus
tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April
2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian
yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang
tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus-kasus
kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh-tokoh penting dan pemilik modal
selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah,
berlarut-larut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara
menurutnya, mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184
KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau benda-benda yang ada
hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke
sejumlah pejabat di Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas)
melakukan supervisi kasus meninggalnya anak – anak di lubang tambang
batu bara di Samarinda. Demikian dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim
dan Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang
dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut
sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata Merah,
sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir
dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasus-kasus sebelumnya
yang belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami
menganjurkan Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain
pasal pidana umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT
ECI, Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.