Elvi junianti
1402055152
Gusdurian dan Lubang Tambang yang
Memakan Korban
Rabu, 25/02/2015 10:01
Rumah panggung kayu yang ditempati Rahmawati (37) dan
Misransyah (36) sejak tahun 80-an tampak sepi siang itu. Di depan rumah,
terdapat warung kecil tempat ibu Rahma berjualan nasi campur dan gorengan.
Itulah rumah orang tua Muhammad Raihan Saputra (10), anak yang tenggelam di bekas lubang tambang batubara yang tidak ditutup oleh perusahaan tambang batubara PT Graha Benua Etam (GBE). Akhir pekan kemarin, Alissa Wahid, Koordinator Gusdurian, berkunjung ke sana dalam rangkaian lawatannya ke Samarinda dalam rangka berbagi pengetahuan di Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG), yang diselenggarakan Gusdurian Kaltim.
Memasuki rumah ibu Rahma, tampak di dinding rumah kayu tergantung figuran foto Ibu Rahma sekeluarga. Di sana juga tergantung foto Raihan bersama saudara lainnya. Ibu Rahma dan Bapak Misran mempunyai 4 anak. Raihan adalah anak ke -2 dari 4 saudara.
Sebagai seorang ibu yang juga memiliki anak, Alissa ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh ibu Raihan. Putri pertama Gus Dur ini juga menceritakan bagaimana Gusdurian bersikap soal kasus Raihan. "Kawan-kawan Gusdurian selama ini memegang teguh soal nilai kemanusian dan keadilan. Dimana pun dan atas nama apapun, penindasan itu tidak dibenarkan," ungkapnya dalam perjalanan menuju rumah Raihan,
Mata Ibu Rahma tampak berkaca-kaca ketika menyambut kedatangan Alissa Wahid di depan pintu rumahnya pada Sabtu (21/2) siang itu. Waktu itu Ibu Rahma ditemani keluarga dekatnya. Suami Ibu Rahma sedang tidak ada dirumah, ia bekerja di sebuah toko penjualan alat-alat kapal di Jalan Lambung Mangkurat. Dia tidak menyangka akan kedatangan putri sulung Gus Dur.
Ibu Rahma menceritakan kegelisahanya kepada Alissa. "Waktu itu siang hari, ada teman Raihan yang datang kerumahnya membawa kabar dengan tergopoh-gopoh," cerita Ibu Rahma. Raihan, anaknya tercebur di Sungai Saliki. Raihan setahu dia tidak bisa berenang. Ibu Rahma panik mendengar kabar itu. Ia juga tidak tahu dimana Sungai Saliki itu berada. Ibu Rahma selama tinggal di sempaja tidak pernah keluar terlalu jauh. Ia berteriak histeris hingga di jalanan depan rumahnya meminta orang untuk membawa dia melihat anaknya. Ia seperti orang yang kehilangan kendali.
"Waktu itu ayah Raihan tidak ada di rumah," ujarnya. Seperti biasa Ayah Raihan berangkat kerja pagi dan pulang pada sore hari. Mendengar anaknya tenggelam, Ayah Raihan bergegas pulang dan langsung menuju lokasi dimana anaknya tenggelam. Ia ikut menyelam hingga dua kali, namun Raihan belum juga ditemukan. Lalu datanglah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim Search and Rescue Kota Samarinda (SAR), setelah ditelepon oleh warga. Sore sekitar pukul 17.30 wita, jasad Raihan baru ditemukan di kedalaman 8 Meter.
"Saya tidak pernah merasakan sakit yang begitu dalam Bu, tapi kehilangan anak itu sungguh membuat hati saya hancur," ucap ibu Rahma kepada Alissa Wahid.
Muhammad Raihan Saputra yang akrab dipanggil Raihan oleh teman-temannya, bersekolah di SDN 009 Pinang Seribu, Sempaja, Samarinda Utara. Biasanya dia berangkat sekolah diantar kakeknya bersama adik dan sepupunya. Raihan suka bermain bola, dia mudah bergaul dan dikenal sangat supel oleh teman-teman. Sehari-hari Raihan tak pernah bermain jauh dari rumahnya. Terkadang Raihan memancing ikan haruan (gabus) dari teras rumahnya, di sekeliling rumahnya masih berupa rawa dangkal.
Ibu Rahma baru tahu kalau di belakang rumah warga di Gang Saliki itu ada lubang bekas tambang batubara yang besar dan dalam, yang jaraknya hanya 50 meter dari perumahan. Alissa Wahid menambahkan, "Pasti ada aturan yang dilanggar dalam kasus tenggelamnya Raihan. Soal Amdal dan izin yang didapat perusahaan. Jarak 50 meter itu sudah melanggar peraturan. Anak dalam pendidikan tidak pernah salah bermain di mana saja. Kasus Raihan, jelas perusahaan yang salah karena meninggalkan lubang."
Itulah rumah orang tua Muhammad Raihan Saputra (10), anak yang tenggelam di bekas lubang tambang batubara yang tidak ditutup oleh perusahaan tambang batubara PT Graha Benua Etam (GBE). Akhir pekan kemarin, Alissa Wahid, Koordinator Gusdurian, berkunjung ke sana dalam rangkaian lawatannya ke Samarinda dalam rangka berbagi pengetahuan di Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG), yang diselenggarakan Gusdurian Kaltim.
Memasuki rumah ibu Rahma, tampak di dinding rumah kayu tergantung figuran foto Ibu Rahma sekeluarga. Di sana juga tergantung foto Raihan bersama saudara lainnya. Ibu Rahma dan Bapak Misran mempunyai 4 anak. Raihan adalah anak ke -2 dari 4 saudara.
Sebagai seorang ibu yang juga memiliki anak, Alissa ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh ibu Raihan. Putri pertama Gus Dur ini juga menceritakan bagaimana Gusdurian bersikap soal kasus Raihan. "Kawan-kawan Gusdurian selama ini memegang teguh soal nilai kemanusian dan keadilan. Dimana pun dan atas nama apapun, penindasan itu tidak dibenarkan," ungkapnya dalam perjalanan menuju rumah Raihan,
Mata Ibu Rahma tampak berkaca-kaca ketika menyambut kedatangan Alissa Wahid di depan pintu rumahnya pada Sabtu (21/2) siang itu. Waktu itu Ibu Rahma ditemani keluarga dekatnya. Suami Ibu Rahma sedang tidak ada dirumah, ia bekerja di sebuah toko penjualan alat-alat kapal di Jalan Lambung Mangkurat. Dia tidak menyangka akan kedatangan putri sulung Gus Dur.
Ibu Rahma menceritakan kegelisahanya kepada Alissa. "Waktu itu siang hari, ada teman Raihan yang datang kerumahnya membawa kabar dengan tergopoh-gopoh," cerita Ibu Rahma. Raihan, anaknya tercebur di Sungai Saliki. Raihan setahu dia tidak bisa berenang. Ibu Rahma panik mendengar kabar itu. Ia juga tidak tahu dimana Sungai Saliki itu berada. Ibu Rahma selama tinggal di sempaja tidak pernah keluar terlalu jauh. Ia berteriak histeris hingga di jalanan depan rumahnya meminta orang untuk membawa dia melihat anaknya. Ia seperti orang yang kehilangan kendali.
"Waktu itu ayah Raihan tidak ada di rumah," ujarnya. Seperti biasa Ayah Raihan berangkat kerja pagi dan pulang pada sore hari. Mendengar anaknya tenggelam, Ayah Raihan bergegas pulang dan langsung menuju lokasi dimana anaknya tenggelam. Ia ikut menyelam hingga dua kali, namun Raihan belum juga ditemukan. Lalu datanglah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim Search and Rescue Kota Samarinda (SAR), setelah ditelepon oleh warga. Sore sekitar pukul 17.30 wita, jasad Raihan baru ditemukan di kedalaman 8 Meter.
"Saya tidak pernah merasakan sakit yang begitu dalam Bu, tapi kehilangan anak itu sungguh membuat hati saya hancur," ucap ibu Rahma kepada Alissa Wahid.
Muhammad Raihan Saputra yang akrab dipanggil Raihan oleh teman-temannya, bersekolah di SDN 009 Pinang Seribu, Sempaja, Samarinda Utara. Biasanya dia berangkat sekolah diantar kakeknya bersama adik dan sepupunya. Raihan suka bermain bola, dia mudah bergaul dan dikenal sangat supel oleh teman-teman. Sehari-hari Raihan tak pernah bermain jauh dari rumahnya. Terkadang Raihan memancing ikan haruan (gabus) dari teras rumahnya, di sekeliling rumahnya masih berupa rawa dangkal.
Ibu Rahma baru tahu kalau di belakang rumah warga di Gang Saliki itu ada lubang bekas tambang batubara yang besar dan dalam, yang jaraknya hanya 50 meter dari perumahan. Alissa Wahid menambahkan, "Pasti ada aturan yang dilanggar dalam kasus tenggelamnya Raihan. Soal Amdal dan izin yang didapat perusahaan. Jarak 50 meter itu sudah melanggar peraturan. Anak dalam pendidikan tidak pernah salah bermain di mana saja. Kasus Raihan, jelas perusahaan yang salah karena meninggalkan lubang."
Analisis Kasus Tenggelamnya Reihan Di
Bekas Tambang Batubara :
Muhammad Raihan Saputra (10) atau
yang akrab dipanggil Raihan oleh teman-temannya,merupakan siswa dari SDN 009
Pinang Seribu, Sempaja, Samarinda Utara. Biasanya dia berangkat sekolah diantar
kakeknya bersama adik dan sepupunya. Raihan suka bermain bola, dia mudah
bergaul dan dikenal sangat supel oleh teman-teman. Sehari-hari Raihan tak
pernah bermain jauh dari rumahnya. Terkadang Raihan memancing ikan haruan
(gabus) dari teras rumahnya, di sekeliling rumahnya masih berupa rawa dangkal.
Di duga karena kegemarannya
memanci ia mencoba memancing di bekas tambang batubara yang besar dan dalam,
yang jaraknya hanya 50 meter dari rumahnya. Namun naasnya lubang tambang
batubara yang tidak ditutup oleh perusahaan tambang batubara PT Graha
Benua Etam (GBE) justru menelan Reihan pada tanggal 22 desember 2014. Jasad
Reihan baru di ditemukan sore sekitar pukul 17.30 witan di kedalaman 8 Meter.
Pihak Perusahaan GBE yang ditemui
ibu korban dikantor besikap acuh dan melontarkan sindiran kepada ibu Korban
dengan mengatakan bahwa kejadian meninggalnya Raihan adalah musibah dan sudah
diselesaikan pihak perusahaan. Staf PT GBE itu juga meminta ibu Rahma untuk
menghubungi mereka lagi menjelang 100 hari meninggalnya Raihan.
Melihat sikap Perusahaan GBE yang
jauh dari rasa kemanusiaan ini sungguh di sayangkan, karena seorang anak tidak
dapat di salahkan ketika ia bermain. Dan belum lagi lokasi tambang batubara
yang jarahnya hanya 50 meter dari pemukiman masyarakat.
Perusahaan batubara PT GBE
memperoleh ijin dengan nomor SK IUP: 545/267/HK-KS/V/2011 dan beroperasi dengan
luasan 493,7 hektar sejak 18 Mei 2011 dan ijinnya akan berakhir 9 November
2015. PT GBE adalah perusahaan yang juga diduga terlibat dalam kasus
Gratifikasi kepada Dinas Pertambangan Samarinda. PT GBE juga sering disebut
dalam evaluasi bulanan tambang yang pernah digelar oleh pemkot tahun 2012-2013
sebangai perusahaan paling tidak taat, bahkan pernah dihentikan
sementara.
Selain lubang bekas tambang yang
sangat dekat dengan pemukiman dan diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No. 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan
Kegiatan Penambangan terbuka batubara yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian
dengan pemukiman, perusaahan ini juga melanggar pasal 19–21 Peraturan
Pemerintah No. 78 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa paling lambat 30 hari
kalender setelah tidak ada kegiatan tambang pada lahan terganggu wajib
direklamasi.
Lubang tambang yang ditinggalkan
oleh PT GBE itu pernah dicoba diukur oleh warga dengan cara dilempar dengan
tali sepanjang 30 meter, tapi dengan tali sepanjang itu belum menyentuh
dasarnya. Air yang ada di lubang bekas tambang yang diduga dengan kedalaman 40
meter itu juga digunakan warga sekitarnya untuk MCK. Terlihat banyak pipa air
yang dipasang, dan mengarah ke dalam lubang bekas tambang PT GBE. Setelah
kejadian kematian Raihan, PT GBE baru membatasi tepi lubang dengan pagar
seng.
Selain mencari keadilan di
perusahaan batubara PT GBE, ibu korban yang bernama rahma melakukan beberapa
cara untuk mencari keadilan, dari surat terbuka yang dilayangkan kepada Menteri
Kehutanan dan Lingkungan Hidup sampai ke Petisi yang sudah ditandatangani
hampir 10 ribu orang di www.change.org/lubangtambang. Dan Ibu Rahma juga
menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Dari pertemuan itu Yohana Yembise
berjanji akan membentuk Tim Investigasi dan akan membicarakan lebih lanjut
mengenai kasus ini di Jakarta.
Seharusnya dari peristiwa ini
menjadi cerminan untuk Pemerintah agar lebih memperhatikan masyarakat golongan
menengah dan kebawah. pasalnya Jatam Kaltim mencatat, dari 2011-2014, sudah
sembilan anak-anak tewas di lubang bekas tambang Samarinda. Dan tahun ini telah di temukan lagi satu orang anak
yang tewas di Loa Bakung. Pemerintah kota dan provinsi terkesan diam dan
kepolisian tak kunjung memproses kasusnya hingga saat ini.
Baik pemerintah dan kepolisian seolah menutup mata akan bentuk-bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai Perusahaan batubara. Pemerintah dan
jejeran aparat kepolisian belum mampu menegakkan Hukum atas pertambangan di
indonesia khususnya di kalimantan sebagai penghasil Batubara terbesar di
indonesia.
Para golongan Borjuis entah dari luar Negeri
ataupun pribumi serasa begitu gampang
menguras kekayaan indonesia tanpa memikirkan dampak buruknya.
Mereka begitu mudah untuk membuka
perusahaan dan begitu mudah untuk menutup tanpa adanya reklamasi atau
reboisasi, sama seperti yang dilakukan perusahaan batubara PT GBE.
Kenyataannya saat ini memerintah
haya mampu membentuk dan mengesahkan berbagai peraturan pertambangan namun
sayangnya belum mampu melaksanaakan dan menegakkannya.
Yang menjadi pertanyaan saat ini
adalah mampuka pemerintah menegakkan keadilan bagi korban dan mampukah
pemerintah memberikan sangsi kepada PT GBE atas berbagai peraturan yang telah
di langgar?
Mungkin sebagian orang akan
berpendapat pemerintah belum mampu, karena ibu korban sampai saat ini masih
mencari keadilan. Dan mungkin juga sebagian orang berpendapat bahwa pemerintah
telah gagal, karena kenyataannya, setelah kasus kematian Reihan, tahun ini
masih di dapatkan seorang anak yang tewas di bekas tambang batubara di Loa
Bakung.
Namun apapun itu sebaiknya
masyarat indonesia khususnya masyarakat Kaltim harus bersikap kritis
terhadap pengerukan kekayaan pribumi
ini. Dampak positifnya memang membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat. Namun kita juga harus memikirkan
dampak negatif yang di timbulkan. Apabila bekas-bekas tambang tersebut tidak di
kelolah dengan arif dan bijak sana seperti yang di lakukan PT GBE, bukan hal yang tidak mungkin bahwa alam ini akan murka dan menelan
korban.