Kamis, 04 Juni 2015



Elvi junianti 
1402055152




Gusdurian dan Lubang Tambang yang Memakan Korban


Rabu, 25/02/2015 10:01

Rumah panggung kayu yang ditempati Rahmawati (37)  dan Misransyah (36) sejak tahun 80-an tampak sepi siang itu. Di depan rumah, terdapat warung kecil tempat ibu Rahma berjualan nasi campur dan gorengan.

Itulah rumah orang tua Muhammad Raihan Saputra (10), anak yang tenggelam di bekas lubang tambang batubara  yang tidak ditutup oleh perusahaan tambang batubara PT Graha Benua Etam (GBE). Akhir pekan kemarin, Alissa Wahid, Koordinator Gusdurian, berkunjung ke sana dalam rangkaian lawatannya ke Samarinda dalam rangka berbagi pengetahuan di Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG), yang diselenggarakan Gusdurian Kaltim.

Memasuki rumah ibu Rahma, tampak di dinding rumah kayu tergantung figuran foto Ibu Rahma sekeluarga. Di sana juga tergantung foto Raihan bersama saudara lainnya. Ibu Rahma dan Bapak Misran mempunyai 4 anak. Raihan adalah anak ke -2 dari 4 saudara.

Sebagai seorang ibu yang juga memiliki anak, Alissa ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh ibu Raihan. Putri pertama Gus Dur ini juga menceritakan bagaimana Gusdurian bersikap soal kasus Raihan. "Kawan-kawan Gusdurian selama ini memegang teguh soal nilai kemanusian dan keadilan. Dimana pun dan atas nama apapun, penindasan itu tidak  dibenarkan," ungkapnya dalam perjalanan menuju rumah Raihan,

Mata Ibu Rahma tampak berkaca-kaca ketika menyambut kedatangan Alissa Wahid di depan pintu rumahnya pada Sabtu (21/2) siang itu. Waktu itu Ibu Rahma ditemani keluarga dekatnya. Suami Ibu Rahma sedang tidak ada dirumah, ia bekerja di sebuah toko penjualan alat-alat kapal di Jalan Lambung Mangkurat. Dia tidak menyangka akan kedatangan putri sulung Gus Dur.

Ibu Rahma menceritakan kegelisahanya kepada Alissa. "Waktu itu siang hari, ada teman Raihan yang datang kerumahnya membawa kabar dengan tergopoh-gopoh," cerita Ibu Rahma. Raihan,  anaknya tercebur di Sungai Saliki. Raihan setahu dia tidak bisa berenang. Ibu Rahma panik mendengar kabar itu. Ia juga tidak tahu dimana Sungai Saliki itu berada. Ibu Rahma selama tinggal di sempaja tidak pernah keluar terlalu jauh. Ia berteriak histeris hingga di jalanan depan rumahnya meminta orang untuk membawa dia melihat anaknya. Ia seperti orang yang kehilangan kendali.

"Waktu itu ayah Raihan tidak ada di rumah," ujarnya. Seperti biasa Ayah Raihan berangkat kerja pagi dan pulang pada sore hari. Mendengar anaknya tenggelam, Ayah Raihan bergegas pulang dan langsung menuju lokasi dimana anaknya tenggelam. Ia ikut menyelam hingga dua kali, namun Raihan belum juga ditemukan. Lalu datanglah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim Search and Rescue Kota Samarinda (SAR), setelah ditelepon oleh warga. Sore sekitar pukul 17.30 wita, jasad Raihan baru ditemukan di kedalaman 8 Meter.

"Saya tidak pernah merasakan sakit yang begitu dalam Bu, tapi kehilangan anak itu sungguh membuat hati saya hancur," ucap ibu Rahma kepada Alissa Wahid.

Muhammad Raihan Saputra yang akrab dipanggil Raihan oleh teman-temannya, bersekolah di SDN 009 Pinang Seribu, Sempaja, Samarinda Utara. Biasanya dia berangkat sekolah diantar kakeknya bersama adik dan sepupunya. Raihan suka bermain bola, dia mudah bergaul dan dikenal sangat supel oleh teman-teman. Sehari-hari Raihan tak pernah bermain jauh dari rumahnya. Terkadang Raihan memancing ikan haruan (gabus) dari teras rumahnya, di sekeliling rumahnya masih berupa rawa dangkal.

Ibu Rahma baru tahu kalau di belakang rumah warga di Gang Saliki itu ada lubang bekas tambang batubara yang besar dan dalam, yang jaraknya hanya 50 meter dari perumahan. Alissa Wahid menambahkan, "Pasti ada aturan yang dilanggar dalam kasus tenggelamnya Raihan. Soal Amdal dan izin yang didapat perusahaan. Jarak 50 meter itu sudah melanggar peraturan. Anak dalam pendidikan tidak pernah salah bermain di mana saja. Kasus Raihan, jelas perusahaan yang salah karena meninggalkan lubang."















Analisis Kasus Tenggelamnya Reihan Di Bekas Tambang Batubara :
Muhammad Raihan Saputra (10) atau yang akrab dipanggil Raihan oleh teman-temannya,merupakan siswa dari SDN 009 Pinang Seribu, Sempaja, Samarinda Utara. Biasanya dia berangkat sekolah diantar kakeknya bersama adik dan sepupunya. Raihan suka bermain bola, dia mudah bergaul dan dikenal sangat supel oleh teman-teman. Sehari-hari Raihan tak pernah bermain jauh dari rumahnya. Terkadang Raihan memancing ikan haruan (gabus) dari teras rumahnya, di sekeliling rumahnya masih berupa rawa dangkal.
Di duga karena kegemarannya memanci ia mencoba memancing di bekas tambang batubara yang besar dan dalam, yang jaraknya hanya 50 meter dari rumahnya. Namun naasnya lubang tambang batubara  yang tidak ditutup oleh perusahaan tambang batubara PT Graha Benua Etam (GBE) justru menelan Reihan pada tanggal 22 desember 2014. Jasad Reihan baru di ditemukan sore sekitar pukul 17.30 witan di kedalaman 8 Meter.
Pihak Perusahaan GBE yang ditemui ibu korban dikantor besikap acuh dan melontarkan sindiran kepada ibu Korban dengan mengatakan bahwa kejadian meninggalnya Raihan adalah musibah dan sudah diselesaikan pihak perusahaan. Staf PT GBE itu juga meminta ibu Rahma untuk menghubungi mereka lagi menjelang 100 hari meninggalnya Raihan.
Melihat sikap Perusahaan GBE yang jauh dari rasa kemanusiaan ini sungguh di sayangkan, karena seorang anak tidak dapat di salahkan ketika ia bermain. Dan belum lagi lokasi tambang batubara yang jarahnya hanya 50 meter dari pemukiman masyarakat.
Perusahaan batubara PT GBE memperoleh ijin dengan nomor SK IUP: 545/267/HK-KS/V/2011 dan beroperasi dengan luasan 493,7 hektar sejak 18 Mei 2011 dan ijinnya akan berakhir 9 November 2015. PT GBE adalah perusahaan yang juga diduga terlibat dalam kasus Gratifikasi kepada Dinas Pertambangan Samarinda. PT GBE juga sering disebut dalam evaluasi bulanan tambang yang pernah digelar oleh pemkot tahun 2012-2013 sebangai perusahaan paling tidak taat, bahkan  pernah dihentikan sementara.  
Selain lubang bekas tambang yang sangat dekat dengan pemukiman dan diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan Kegiatan Penambangan terbuka batubara yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman, perusaahan ini juga melanggar pasal 19–21 Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang pada lahan terganggu wajib direklamasi.
Lubang tambang yang ditinggalkan oleh PT GBE itu pernah dicoba diukur oleh warga dengan cara dilempar dengan tali sepanjang 30 meter, tapi dengan tali sepanjang itu belum menyentuh dasarnya. Air yang ada di lubang bekas tambang yang diduga dengan kedalaman 40 meter itu juga digunakan warga sekitarnya untuk MCK. Terlihat banyak pipa air yang dipasang, dan mengarah ke dalam lubang bekas tambang PT GBE. Setelah kejadian kematian Raihan, PT GBE  baru membatasi tepi lubang dengan pagar seng.
Selain mencari keadilan di perusahaan batubara PT GBE, ibu korban yang bernama rahma melakukan beberapa cara untuk mencari keadilan, dari surat terbuka yang dilayangkan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup sampai ke Petisi yang sudah ditandatangani hampir 10 ribu orang di www.change.org/lubangtambang. Dan Ibu Rahma juga menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Dari pertemuan itu Yohana Yembise berjanji akan membentuk Tim Investigasi dan akan membicarakan lebih lanjut mengenai kasus ini di Jakarta.
Seharusnya dari peristiwa ini menjadi cerminan untuk Pemerintah agar lebih memperhatikan masyarakat golongan menengah dan kebawah. pasalnya Jatam Kaltim mencatat, dari 2011-2014, sudah sembilan anak-anak tewas di lubang bekas tambang Samarinda. Dan tahun  ini telah di temukan lagi satu orang anak yang tewas di Loa Bakung. Pemerintah kota dan provinsi terkesan diam dan kepolisian tak kunjung memproses kasusnya hingga saat ini.
  Baik pemerintah dan kepolisian seolah menutup mata akan bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai Perusahaan batubara. Pemerintah dan jejeran aparat kepolisian belum mampu menegakkan Hukum atas pertambangan di indonesia khususnya di kalimantan sebagai penghasil Batubara terbesar di indonesia.
 Para golongan Borjuis entah dari luar Negeri ataupun  pribumi serasa begitu gampang menguras kekayaan indonesia tanpa memikirkan dampak buruknya.
Mereka begitu mudah untuk membuka perusahaan dan begitu mudah untuk menutup tanpa adanya reklamasi atau reboisasi, sama seperti yang dilakukan perusahaan batubara PT GBE.
Kenyataannya saat ini memerintah haya mampu membentuk dan mengesahkan berbagai peraturan pertambangan namun sayangnya belum mampu melaksanaakan dan menegakkannya.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah mampuka pemerintah menegakkan keadilan bagi korban dan mampukah pemerintah memberikan sangsi kepada PT GBE atas berbagai peraturan yang telah di langgar?
            Mungkin sebagian orang akan berpendapat pemerintah belum mampu, karena ibu korban sampai saat ini masih mencari keadilan. Dan mungkin juga sebagian orang berpendapat bahwa pemerintah telah gagal, karena kenyataannya, setelah kasus kematian Reihan, tahun ini masih di dapatkan seorang anak yang tewas di bekas tambang batubara di Loa Bakung.
Namun apapun itu sebaiknya masyarat indonesia khususnya masyarakat Kaltim harus bersikap kritis terhadap  pengerukan kekayaan pribumi ini. Dampak positifnya memang membuka lowongan pekerjaan bagi  masyarakat. Namun kita juga harus memikirkan dampak negatif yang di timbulkan. Apabila bekas-bekas tambang tersebut tidak di kelolah dengan arif dan bijak sana seperti yang di lakukan PT GBE, bukan hal yang tidak mungkin bahwa alam ini akan murka dan menelan korban.