Kamis, 04 Juni 2015


Dwi Puteri Ananda
1402055151



Seorang Bocah Tewas Tenggelam di Lubang Sedalam 40 Meter




Selasa, 23 Desember 2014 | 20:15 WIB
SAMARINDA, KOMPAS.com - Rahmawati menangis pilu di rumahnya di Jalan Padat Karya, Sempaja Selatan, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), Selasa (23/12/2014). Perempuan berusia 37 tahun ini menangisi kepergian anaknya yang tewas tenggelam di bekas lubang galian tambang yang diduga milik perusahaan tambang batubara PT Graha Benua Etam (GBE) pada Senin (22/12/2014).

Di dalam rumah sederhana yang terbuat dari kayu berukuran 6 X 12 meter itu, Rahmawati terus mengurai air mata. Beberapa ibu tetangga Rahmawati ikut menangis sembari bergantian memeluk Rahmawati. Tak ada yang dapat diucapkan Rahmawati selain terus menyesali kepergian anaknya.

“Sedih rasanya, usianya baru 10 tahun. Tidak ada firasat sebelumnya,” ujarnya sembari terbata-bata.

Anaknya tersebut bernama Muhammad Raihan Saputra. Bocah yang akrab dipanggil Raihan ini meninggal karena tenggelam. Korban diperkirakan tewas sekitar pukul 14.00 siang dan jasadnya baru diangkat pada pukul 17.30 sore oleh Badan Penanggulangan Bencanan Daerah (BPBD) dan tim SAR setempat. Tubuh Raihan didapatkan di kedalaman 8 meter, sementara kedalaman lubang bekas tambang yang berisi air tersebut diperkirakan mencapai 40 meter.

Rahmawati menceritakan, Raihan kecil baru dua hari menikmati masa hari liburan sekolah. “Sabtu kemarin baru ngambil rapor semester ganjil di SDN 009, Pinang Seribu,” ungkapnya.

Perempuan yang sehari-hari berjualan nasi campur dan gorengan itu tidak pernah menyangka anaknya tewas dengan cara yang tak wajar.

“Baru saja kemarin malam dinasihati bapaknya agar tak main jauh-jauh dan ingat pulang kalau sudah waktunya. Sekarang sudah enggak ada,” kenangnya sembari terus menangis.

Disamping Rahma, Misransyah, ayah korban juga tampak menangis.

“Raihan itu suka main bola dan suka bergaul. Ia sangat dikenal luas oleh-anak-anak di sini karena keluwesannya bergaul,” kenang Misran, panggilan akrabnya.



Analisis :
1.     Judul
“Seorang Bocah Tewas Tenggelam di Lubang Sedalam 40 Meter”
Judul di atas cukup menarik karena penulisan ukuran hurufnya besar yang akan membuat calon pembaca merasa tertarik untuk membelinya/membacanya. Selain itu, para pembaca juga dapat memprediksi apa yang akan dibahas di dalamnya karena dari judulnya sudah tertebak/to the point tanpa memakai “permainan kata”, pasti berita ini akan membahas mengenai tengelamnya seorang bocah. Pemilihan kata yang digunakan dalam judul tersebut sudah efektif. Namun, penulis tak memberitahukan bocah itu tewas di lubang apa. Namun, dengan kekurangannya itu, para pembaca menjadi ingin membaca berita tersebut seutuhnya.

“anaknya tewas dengan cara yang tak wajar”

Penggunaan kata “tak wajar” membuktikan ketidakkosistensan penulis dalam menulis berita, dari judul telah disebutkan bahwa Rayhan (10) meninggal karena tenggelam. Penggunaan kata “tak wajar” juga akan membuat keluarga korban akan merasa lebih sedih, dan membuktikan penulis tak memahami salah satu elemen jurnalistik yaitu hati nurani dalam menulis berita.

Sesuai SK Dewan Pers No. 03/SK-DP/III 2006, penulis melanggar beberapa pasal tentang kode etik jurnalistik :

Pasal 3 : Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pasal 4 : Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Selain melanggar kode etik jurnalis jika tuduhannya salah, maka tuduhan tesebut dapat masuk dalam ranah hukum. Perusahaan dapat menuntut jurnalis tentang pencemaran nama baik dengan Pasal 317 KUHP :
(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.