Kamis, 04 Juni 2015

Raysyahdan Pramana Atmojo 
1402055170



Resensi All The President’sMen:
“It’sAbout The Power of Journalism”

1 Juni 1972, Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, mencalonkan kembali dalam pemilihan presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Tak lama setelah pengumumannya, terjadi sebuah perampokan di Watergate. Kasus tersebut diklaim memiliki banyak misteri, hingga menimbulkan ketertarikan oleh wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein.

“Penyelidikan” tak resmi oleh kedua wartawan tersebut dimulai. Dalam penyelidikannya, mereka menemukan berbagai kejanggalan mengenai pencurian Watergate, uang para pencuri yang konon dikirim oleh orang dalam Partai Republik. Hal ini menimbulkan kecurigaan di benak mereka. Dikejar oleh tenggat waktu; persaingan ketat dengan rival koran mereka, The New York Times; hingga tekanan dari atasan dan orang-orang yang mereka kejar tidak menyurutkan tekad mereka sebagai wartawan.

            Pada akhirnya mereka menemukan sebuah fakta yang sangat tajam dan mendalam, bahwa semua kasus tersebut hanyalah pengalihan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang melibatkan semua komunitas intelijen Amerika Serikat untuk menutupi operasi-operasi rahasia dan kegiatan-kegiatan terselubung AS: sang presiden yang baru kembali terpilih untuk masa jabatan yang kedua kalinya, Richard Nixon.


Sebuah Drama Tentang Konspirasi & Jurnalisme

            Sebagai sebuah film drama, All The President’sMen terbukti mampu menjalankan tugasnya dengan baik, setidaknya bagi saya pribadi yang belum pernah membaca novel aslinya yang dibuat oleh kedua wartawan The Washington Post itu sendiri, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Kekuatan cerita yang ada mampu menghasilkan efek dramatis kas film-film keluaran tahun 70 – 80-an. Seperti ketika Woodward terlihat begitu lelah dengan penyelidikannya, digambarkan dengan ia terlambat menemui DeepThroat (namanya memang berkesan agak pervert) di sebuah gedung parkir, karena ia ketiduran akibat kelelahan setelah menyelidiki kasus ini seharian penuh dengan Bernstein.

            Akting yang ditawarkan juga cukup baik. Dustin Hoffman (yang di film ini terlihat masih muda dengan potongan rambut gondrong khas tahun 70 – 80-an) mampu memerankan Carl Bernstein, meskipun memang harus diakui, ia sepertinya kekurangan adegan-adegan yang menyentuh karena karakter yang diperankannya memang memiliki porsi cerita yang cenderung “datar”. Satu-satunya adegan Dustin Hoffman yang menurut saya menarik adalah ketika ia mengejar mobil Woodward untuk memberitahukan rekan kerjanya tersebut informasi yang berhasil ia peroleh dari penyelidikannya sebelumnya.

            Berbeda halnya dengan Robert Redford yang memerankan Bob Woodward. Di film ini, ia kebagian peran yang lebih “emosional”, meskipun jumlahnya tetap tak banyak. Hal ini bisa dilihat ketika ia beberapa kali menemui DeepThroat untuk mendapatkan informasi tambahan dan mengklarifikasi info-info yang telah ia dapatkan dari sumber lain. Untungnya Robert Redford mampu memerankan perannya sama baiknya dengan Dustin Hoffman.

            Namun kekuatan sebenarnya dari film ini datang dari inti cerita itu sendiri. Di film ini, media pers dan jurnalisme digambarkan memiliki “kekuatan” dan “kebebasan” yang hampir mutlak. Lihat saja ketika Bernstein berusaha mengorek informasi dari salah satu sumbernya. Ia mewawancarai sumbernya tesebut dengan penuh kesabaran, bahkan ia sampai menghabiskan waktu 6 jam di rumah sumbernya tersebut dan sampai harus menggunakan kertas tisu dan semacamnya karena ia kehabisan kertas untuk mencatat inti-inti penting dari informasinya tersebut. Untungnya, pers di sini tidak digambarkan sebagai media yang rela melakukan hal-hal negatif hanya untuk menaikkan oplah penjualan surat kabar yang mereka terbitkan.

            Kekuatan jurnalisme di sini adalah bahwa mereka mampu untuk untuk menyelidiki hal-hal yang “tidak normal” dari pencurian Watergate, dan bahkan sanggup menemukan konspirasi besar di balik sebuah kasus yang tampaknya biasa saja. Puncaknya adalah ketika mereka berhasil membuat orang-orang yang berada di balik kasus tersebut “menyerahkan diri” dan pada akhirnya, membuat sang presiden (yang memiliki sangkut paut yang sangat kuat dengan kasus ini) mengundurkan diri.

            Saya sendiri mengaku sangat salut dengan film ini. Di film ini, pers adalah sebuah media yang berusaha menarik perhatian khalayak luas dan bersaing ketat dengan rival-rival mereka dengan berusaha menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya tanpa ada yang dikurangi maupun dilebih-lebihkan, tidak seperti media-media di Indonesia saat ini yang rela menyampaikan hal-hal yang kurang akurat demi mendapat perhatian khalayak yang lebih besar. Harapan saya pribadi adalah bahwa media-media di Indonesia mampu meniru pers seperti yang ada di film ini (dalam hal ini, surat kabar The Washington Post), dan membuat perubahan-perubahan besar yang dapat membawa Indonesia menjadi negara yang lebih maju lagi.