Raysyahdan Pramana
Atmojo
1402055170
Resensi
All The President’sMen:
“It’sAbout
The Power of Journalism”
1
Juni 1972, Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, mencalonkan
kembali dalam pemilihan presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Tak lama
setelah pengumumannya, terjadi sebuah perampokan di Watergate. Kasus tersebut
diklaim memiliki banyak misteri, hingga menimbulkan ketertarikan oleh wartawan
The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein.
“Penyelidikan”
tak resmi oleh kedua wartawan tersebut dimulai. Dalam penyelidikannya, mereka
menemukan berbagai kejanggalan mengenai pencurian Watergate, uang para pencuri
yang konon dikirim oleh orang dalam Partai Republik. Hal ini menimbulkan
kecurigaan di benak mereka. Dikejar oleh tenggat waktu; persaingan ketat dengan
rival koran mereka, The New York Times; hingga tekanan dari atasan dan
orang-orang yang mereka kejar tidak menyurutkan tekad mereka sebagai wartawan.
Pada akhirnya mereka menemukan
sebuah fakta yang sangat tajam dan mendalam, bahwa semua kasus tersebut
hanyalah pengalihan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang melibatkan
semua komunitas intelijen Amerika Serikat untuk menutupi operasi-operasi
rahasia dan kegiatan-kegiatan terselubung AS: sang presiden yang baru kembali
terpilih untuk masa jabatan yang kedua kalinya, Richard Nixon.
Sebuah Drama Tentang Konspirasi & Jurnalisme
Sebagai sebuah film drama, All The
President’sMen terbukti mampu menjalankan tugasnya dengan baik, setidaknya bagi
saya pribadi yang belum pernah membaca novel aslinya yang dibuat oleh kedua
wartawan The Washington Post itu sendiri, Bob Woodward dan Carl Bernstein.
Kekuatan cerita yang ada mampu menghasilkan efek dramatis kas film-film
keluaran tahun 70 – 80-an. Seperti ketika Woodward terlihat begitu lelah dengan
penyelidikannya, digambarkan dengan ia terlambat menemui DeepThroat (namanya
memang berkesan agak pervert) di
sebuah gedung parkir, karena ia ketiduran akibat kelelahan setelah menyelidiki
kasus ini seharian penuh dengan Bernstein.
Akting yang ditawarkan juga cukup
baik. Dustin Hoffman (yang di film ini terlihat masih muda dengan potongan
rambut gondrong khas tahun 70 – 80-an) mampu memerankan Carl Bernstein,
meskipun memang harus diakui, ia sepertinya kekurangan adegan-adegan yang
menyentuh karena karakter yang diperankannya memang memiliki porsi cerita yang
cenderung “datar”. Satu-satunya adegan Dustin Hoffman yang menurut saya menarik
adalah ketika ia mengejar mobil Woodward untuk memberitahukan rekan kerjanya
tersebut informasi yang berhasil ia peroleh dari penyelidikannya sebelumnya.
Berbeda halnya dengan Robert Redford
yang memerankan Bob Woodward. Di film ini, ia kebagian peran yang lebih
“emosional”, meskipun jumlahnya tetap tak banyak. Hal ini bisa dilihat ketika
ia beberapa kali menemui DeepThroat untuk mendapatkan informasi tambahan dan mengklarifikasi
info-info yang telah ia dapatkan dari sumber lain. Untungnya Robert Redford
mampu memerankan perannya sama baiknya dengan Dustin Hoffman.
Namun kekuatan sebenarnya dari film
ini datang dari inti cerita itu sendiri. Di film ini, media pers dan jurnalisme
digambarkan memiliki “kekuatan” dan “kebebasan” yang hampir mutlak. Lihat saja
ketika Bernstein berusaha mengorek informasi dari salah satu sumbernya. Ia
mewawancarai sumbernya tesebut dengan penuh kesabaran, bahkan ia sampai
menghabiskan waktu 6 jam di rumah sumbernya tersebut dan sampai harus
menggunakan kertas tisu dan semacamnya karena ia kehabisan kertas untuk
mencatat inti-inti penting dari informasinya tersebut. Untungnya, pers di sini
tidak digambarkan sebagai media yang rela melakukan hal-hal negatif hanya untuk
menaikkan oplah penjualan surat kabar yang mereka
terbitkan.
Kekuatan jurnalisme di sini adalah
bahwa mereka mampu untuk untuk menyelidiki hal-hal yang “tidak normal” dari
pencurian Watergate, dan bahkan sanggup menemukan konspirasi besar di balik
sebuah kasus yang tampaknya biasa saja. Puncaknya adalah ketika mereka berhasil
membuat orang-orang yang berada di balik kasus tersebut “menyerahkan diri” dan
pada akhirnya, membuat sang presiden (yang memiliki sangkut paut yang sangat
kuat dengan kasus ini) mengundurkan diri.
Saya sendiri mengaku sangat salut
dengan film ini. Di film ini, pers adalah sebuah media yang berusaha menarik
perhatian khalayak luas dan bersaing ketat dengan rival-rival mereka dengan
berusaha menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya tanpa ada yang dikurangi
maupun dilebih-lebihkan, tidak seperti media-media di Indonesia saat ini yang
rela menyampaikan hal-hal yang kurang akurat demi mendapat perhatian khalayak
yang lebih besar. Harapan saya pribadi adalah bahwa media-media di Indonesia
mampu meniru pers seperti yang ada di film ini (dalam hal ini, surat kabar The
Washington Post), dan membuat perubahan-perubahan besar yang dapat membawa
Indonesia menjadi negara yang lebih maju lagi.