Kamis, 28 Mei 2015




Adnan Rico Saputra
1402055161

All The President’s Men 
 Sutradara
Alan J. Pakula
Produser
Walter Coblenz
Pemeran Utama
Tanggal rilis




Film ini bermula dari kasus spionase, pencurian, dan penyadapan di salah satu markas milik Partai Nasional Demokrat, Watergate. Kemudian dua orang jurnalis The Washington Post mencoba untuk menguak kasus yang mereka anggap penuh konspirasi. Dua jurnalis tersebut yakni Bob Woodwart (Robert Redford)  dan Carl Bernstein (Dustin Hoffman).
Ketika Woodward berusaha mengumpulkan informasi terkait penyusupan ini, Ia mendapati fakta bahwa kelima orang penyusup itu memiliki pengacara yang secara khusus mereka sewa. Woodward juga mengetahui bahwa salah satu dari penyusup itu James Mc. Cord adalah mantan anggota Central Intelligence Agency (CIA), dan memiliki kaitan dengan Charles Colson, penasihat khusus Presiden Nixon.
Melalui investigasi yang melelahkan, serta bantuan dari sumber anonim bernama “Deep Throat”, Bernstein dan Woodward berhasil menemukan kaitan antara dana yang para penyusup gunakan dengan Committee to Re-elect the President (CREEP). Mereka berdua juga berhasil menemukan kaitan antara dana ini dengan Kepala Staff White House, yang pada saat itu dijabat oleh H.R. Halderman. 
Woodwart dimintai “Deep Throat” untuk menelusuri uang sejumlah $25.000 yang mengalir dari Komite Pemenangan Kembali (CREEP) Presiden Richard Nixon ke salah satu pelaku skandal Watergate. Lalu, penelusuran pun dimulai. Woodwart dan Berstein mengalami masa yang amat melelahkan. Mereka mewawancara puluhan orang yang bekerja di bagian keuangan pemerintahan untuk mengetahui aliran dana sebesar $25.000 tersebut. Mereka melakukannya Door to door. Ternyata dana itu digunakan untuk kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Selidik punya selidik, orang-orang Nixon mencoba menyabotase kampanye politik pesaingnya dari Partai Nasional Demokrat.
Walau sempat pemberitaan ini ditolak oleh Ben Bradlee Executive Editor di The Washington Post karena data-data yang dihimpun masih dangkal. Isinya kering dan hanya menyangkut kulit luar dari kasus itu tetapi mereka berdua tidak menyerah dan pemberitaan tentang skandal Watergate tersiarkan juga. Gedung Putih gempar. Aksi dari dua wartawan ini menyeret beberapa nama penting di pemerintahan. Mulailah terkuak konspirasi pejabat tinggi Gedung Putih dalam kasus Watergate.
Berita demi berita makin menyulitkan beberapa pejabat Gedung Putih untuk menutupi skandal Watergate. Nama-nama yang Woodwart dan Berstein ungkap dalam tulisan mereka perlahan mulai terseret ke meja hijau.
Akhirnya, dalam gelar perkara pengadilan, nama-nama yang diungkap Woodwart dan Bernstein dalam skandal kasus Watergate dinyatakan bersalah. Dalam salah satu bukti, Richard Nixon terlibat. Ia nyatanya menyetujui kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Pemerintahan Nixon ambruk, kekuatannya melemah. Pada 9 Agustus 1974, Richard Nixon menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh Gerald Ford. 



Dalam film ini, saya amat terkesan oleh semua praktek jurnalistik yang dilakoni dua wartawan tersebut.

  1. Wawancara
Ada beberapa bagian yang menampilkan kepiawaian dua wartawan ini dalam mengorek informasi dari narasumber. Pada awal film, Berstein tak hanya menjadi sosok wartawan, tapi menjelma menjadi seorang perayu wanita. Kata-kata pujian seperti “cantik” terlontar dari mulut Berstein kepada wanita yang hendak ia wawancara. Sehingga, suasana yang dibangun antara narasumber dan wartawan teramat cair. Narasumber pun senantiasa memberikan informasi tanpa kesan menutupi.
            Proses wawancara pada tingkat yang lebih sulit pun menghadang dua wartawan ini. Dalam salah satu scene, Woodwart dimintai Deep Throat untuk menelusuri uang sejumlah $25.000 yang mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke salah satu pelaku skandal Watergate. Lalu, penelusuran pun dimulai. Woodwart dan Berstein mengalami masa yang amat melelahkan. Mereka mewawancara puluhan orang yang bekerja di bagian keuangan pemerintahan untuk mengetahui aliran dana sebesar $25.000 tersebut. Mereka melakukannya Door to door. Putus asa hampir menghinggapi perasaan dua orang ini, tapi wawancara demi wawancara terus mereka lakukan. Akhirnya, mereka menemukan orang yang bersedia mengungkap untuk apa aliran dana tersebut. Ternyata dana itu digunakan untuk kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Bayangkan, untuk mengetahui sebuah aliran dana saja, mereka berdua mesti mewancara puluhan orang bahkan sampai larut malam. 

  1. Pengumpulan Data
            Pada sebuah pemberitaan, hasil akan lebih akurat jika data tertulis didapatkan. Namun, data tersebut lebih sulit didapat ketimbang wawancara. Saya teringat kisah peliputan Karni Ilyas dalam buku “40 Tahun Jadi Wartawan”. Dalam sebuah liputan perkara di pengadilan, wartawan dengan suara khas mirip Doraemon itu belum puas jika hanya wawancara, sampai-sampai surat tuduhan jaksa dan Berita Acara Perkara (BAP) mesti pula ia dapatkan. Hal itu dilakukan untuk kelengkapan dan keakuratan isi berita.
            Bagaimana dengan Woodwart dan Berstein? Segera setelah  wawancara tidak menuai hasil, Woodwart dan Berstein mencari data tertulis. Sangat unik dan profesional, tidak hanya orang yang terlibat, bahkan hubungan antara narasumber primer dan sekunder juga dicari datanya. Semisal riwayat kampanye politik, daftar peminjaman buku perpustakaan, ratusan daftar pegawai yang bekerja di bagian keuangan negara, data transfer uang dari bank, sampai riwayat panggilan telefon tak luput dari selidik dua wartawan ini. Walhasil, berita yang disajikan tidak kering, namun padat informasi dan kaya akan data.
            Ada lagi hal istimewa yang dilakukan salah seorang wartawan Washington Post ini. Jangan kira dengan bersikap jujur dan polos akan gampang-gampang saja mendapat data tertulis, terlebih jika data itu disimpan oleh pejabat tinggi pemerintah. Dalam salah satu bagian film, Bernstein dibuat gusar karena tak kunjung dipertemukan dengan seseorang yang memegang bukti transfer uang $25.000 itu, padahal ia telah membuat janji pertemuan. Ia dibiarkan menunggu di Lobi Kantor oleh receptionist, Bernstein ditelantarkan selama kurang lebih enam jam. Dengan kecerdikan dan keberanian Berstein, ia berhasil mengelabuhi resepsionis dengan cara berbohong. Akhirnya Bernstein dapat bertemu dengan orang yang memegang bukti transfer tersebut.
            Hal demikian sah-sah saja. Dalam buku “9 Elemen Jurnalisme” karangan Andreas Harsono, hal tersebut boleh jadi dilakukan. Untuk memperoleh data atau bukti primer sebuah kasus, seorang wartawan sah-sah saja berbohong bahkan menyamar. Jika tidak demikian, data tidak akan didapat dan kasus tak akan terbongkar. Terlebih lagi, resepsionis tersebut telah menghalang-halangi dan menghambat kerja wartawan dibawahan tekanan deadline. Maka, saya lebih sepakat Bernstein tidak berbohong, melainkan cerdik mengatasi permasalahan. Jika tidak demikian, data paling penting dari kasus Watergate teramat sukar diperoleh.

  1. Penulisan Berita dan Dinamika Ruang Redaksi
Ada kaitannya antara film ini dengan kiprah wartawan pemula, terlebih lagi ia adalah pegiat pers mahasiswa. Secara pengalaman – menurut pimpinan The Washington Post – Bob Woodwart belumlah layak untuk meliput kasus setingkat skandal Watergate. Setelah bersitegang, barulah Woodwart diizinkan.
Ada salah satu bagian diawal film yang menyinggung soal dinamika keredaksian. Woodwart mengumpulkan hasil liputannya. Namun, tulisan Woodwart dikoreksi oleh Bernstein yang lebih senior berkiprah sebagai jurnalis. Mereka berdua berdebat soal kualitas tulisan. Bernstein menganggap tulisan Woodwart tentang Watergate tidak mempunyai titik fokus. Lead yang ditulis Woordwart tidak menentukan arah tulisan dan kejelasan orang yang terlibat.
Sebagai seorang wartawan, terlebih pegiat pers mahasiswa, kredibilitas seorang wartawan dipertaruhkan dalam tulisan. Maka koreksi dari teman sesama wartawan sangat penting sebelum disiarkan ke khalayak. Masyarakat akan bisa menilai kualitas wartawan bahkan juga media tempat ia bernaung. Jika saja tulisan yang dibuat kacau, bisa jadi seorang wartawan akan berperkara di Dewan Pers dan citra media yang bersangkutan akan memburuk. Namun, apabila sebuah tulisan dapat dipahami maksud, arah, dan substansinya, reputasi wartawan dan media yang bersangkutan juga meningkat. Maka, aturan mengenai penulisan teras berita, tubuh berita, struktur kalimat, EYD, dan lain-lain mesti diperhatikan betul-betul jika tak ingin bersinggungan dengan keredaksian dan publik tentunya. Koreksi dari redaksi sih biasa, namun judgement dari masyarakat yang cukup menyakitkan.

  1. Klarifikasi dan Follow up Berita.
Jika seorang wartawan menulis berita tanpa klarifikasi, berarti itu wartawan gila. Woodwart dan Bernstein tidak gila tentunya. Tahapan setelah mendapat data yakni klarifikasi. Woodwart dan Bernstein sangat ketat dalam klarifikasi. Mereka hampir tidak menerbitkan beritanya karena sulit mendapatkan klarifikasi. Padahal tekanan deadline dan redaktur begitu terasa. Sia-sia rasanya jika puluhan data bahkan ratusan data telah dihimpun namun ketika hendak menulisnya tidak mendapatkan klarifikasi. Mending tidak usah jadi menulisnya daripada dikutuk massa karena menulis berita yang berat sebelah. Berita yang kita tulis akan menjadi sumber fitnah dan sudah terjerat pelanggaran pidanan. Maka berhati-hatilah!
            Bernstein dan Woodwart juga serius dengan perkembangan infomasi terkait Watergate. Berita yang baik tentunya tak mencakup kulit luar, tapi mendalam dan terus diikuti perkembangannya, inilah follow up. Jika tidak demikian, tak mungkin dua wartawan ini dianugrahi penghargaan Putlizer. Betapa tidak, berita yang ditulis dua wartawan ini mengungkap pelaku kriminal yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah, sampai tuntas, berakhir di pengadilan, dan Nixon menyerah.