Elvi junianti
1402055152
Resensi Film All The President’s Men
President’s Men adalah dramatisasi kegiatan
jurnalistik dua orang reporter bernama Carl Bernstein dan Bob Woodward. Mereka
menjadi jurnalis salah satu harian terbesar di negeri Paman Sam, yaitu The
Washington Post. Secara khusus, film ini menceritakan peliputan skandal
Watergate oleh Bernstein dan Woodward pada awal tahun 1970an, yang berujung
pada mundurnya Richard Nixon dari kepresidenan Amerika Serikat.
Film
diawali dengan adegan penyusupan lima orang ke kantor pusat Partai Demokrat,
yang berada di area perkantoran Watergate—asal muasal penyebutan Watergate
Scandal. Karena dianggap hanya sekedar penyusupan biasa, The Washington Post
menugaskan Woodward, yang saat itu baru beberapa bulan menjadi reporter di
sana, untuk meliput kasus ini di pengadilan setempat.
Ketika
Woodward berusaha mengumpulkan informasi terkait penyusupan ini, ia mendapati
fakta bahwa kelima orang itu memiliki pengacara yang secara khusus mereka sewa.
Woodward juga mengetahui bahwa salah satu dari penyusup itu adalah mantan
anggota Central Intelligence Agency¬, dan memiliki kaitan dengan Charles
Colson, penasihat khusus Presiden Nixon.
Mengingat
pengalaman Woodward yang masih minim, Ben Bradlee yang saat itu menjadi
executive editor di The Washington Post, menugaskan Bernstein yang saat itu
sudah menjadi reporter selama enam tahun di The Washington Post. Pada mulanya,
Bernstein dan Woodward adalah pasangan yang tidak cocok untuk meliput kasus
ini. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka berdua isa bekerja sama dengan
baik dalam meliput Watergate.
Melalui
investigasi yang melelahkan, serta bantuan dari sumber anonim bernama “Deep
Throat”, Bernstein dan Woodward berhasil menemukan kaitan antara dana yang para
penyusup gunakan dengan Committee to Re-elect the President. Mereka berdua juga
berhasil menemukan kaitan antara dana ini dengan Kepala Staff White House, yang
pada saat itu dijabat oleh H.R. Halderman.
Setelah
tujuh bulan investigasi dan melahirkan beberapa tulisan, yang sebenarnya belum
menunjukkan hubungan antara penyusup dengan Nixon, Bernstein dan Woodward
akhirnya memulai liputan mereka tentang upaya Nixon untuk memenangkan pemilu
presiden Amerika Serikat dengan cara yang tidak wajar.
Pada akhirnya, pembongkaran
skandal Watergate yang “dipimpin” oleh The Washington Post, membuat Presiden
Nixon mengundurkan diri di tahun 1974 dan digantikan oleh Gerald Ford.
Film
besutan Alan J. Pakula yang dirilis tahun 1976 ini, menurut saya, masih
merupakan film yang memberikan deskrispi paling baik tentang jurnalisme dan
wartawan. Pakula mampu membuat Dustin Hoffman, yang memerankan Bernstein; dan
Robert Redford, yang memerankan Woodward, memainkan perannya sebagai wartawan
tanpa berlebihan.
Pakula
menggambarkan dengan baik bagaimana kesulitan wartawan untuk menemui
narasumber, perdebatan tak berujung dengan redaktur, deadline yang ketat,
hingga jam kerja yang tidak teratur. Tak hanya itu, Pakula menekankan
pentingnya idealisme jurnalis dalam meliput sebuah perkara.
Setelah menonton film ini, saya menyadari
bahwa peran dalam pelayan publik tidak hanya terbatas menjadi birokrat atau
penegak hukum saja.
Jurnalisme,
yang sudah menanamkan dirinya sebagai pilar keempat dalam demokrasi, juga turut
berperan dalam mengontrol aktivitas penguasa, khususnya eksekutif, yang
seringkali korup. Melalui independensi jurnalisme, kebusukan bisa diungkap
meski dengan upaya yang cukup sulit. Film ini juga meyakinkan saya bahwa
people’s power yang diwakili oleh jurnalisme, masih bisa berperan dalam
menentukan arah dan kebijakan sebuah negara.
Secara
pribadi, melalui film ini, saya mendapatkan bahwa jurnalisme masih menjadi
dunia yang bisa mengusung nilai-nilai idealisme, tanpa takut intervensi dan
harus diturunkan jabatannya. Film ini juga menjadi bukti nyata bahwa Kata
Adalah Senjata.