1402055154
Setidaknya delapan
bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga
saat ini. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan
Rawa Makmur, Palaran. Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat
berenang di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada
bulan lalu.
Namun hingga kini
lubang maut tersebut tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda
bahaya sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan seluas sekitar
15 X 20 meter tersebut hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila
dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian
terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang pinggir
kolam masih terlihat jelas bekas kerukan eskavator dan singkapan-singkapan
batubara yang belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter dari lubang maut
atau tepat di pinggir jalan raya, tumpukan batu bara yang sudah digali
dibiarkan teronggok begitu saja.
Basuki Rahmat,
Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan
ditambang memang sudah mendapat penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya
adalah kebun buah milik warga.
Hanya saja, Pemkot
Samarinda melalui pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan
pemerintah terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun
terbukti. Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang
berada tak jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan
hanya akfititas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga, aktifitas
pengangkutan batu bara (hauling) yang melalui beberapa RT di kelurahan
tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena ada kompensasi “uang debu” kepada
beberapa warga hauling akhirnya diijinkan. Dikatakannya,
pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu bara ke dalam karung –
karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas. “Jadi sebetulnya
masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam) Kaltim berencana akan mengambil upaya hukum, atas kejadian
tersebut.”Kalau keluarga menempuh jalur hukum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan
dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah
kesekian kali,” kata Merah Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu,
Wakil Walikota Samarinda Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan,
dikarenakan sudah ada korban jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak
hukum.
“Karena menyangkut
kecelakaan dan memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan
kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait
kinerja penambang, menurut Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan
Samarinda. “Apakah lubang ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini
masih aktif tambang. Kalau area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga
warga yang melanggar kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi.
Pemkot harus ada penelitian yang lebih objektif, tepatnya adalah penyelidikan
kepolisian,” kata Nusyirwan.
Jatam
berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359
Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang
siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang
tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat
berwenang“, “tidak melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundangundangan
dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”,
“mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi. “Perusahaan
tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Beberapa rumah
warga yang tinggal di dekat tambang. Foto: Hendar
Dari penelusuran
Jatam Kaltim kata terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik
tambang seperti yang dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor
55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang plang atau tanda peringatan di
tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam
tambang.
Dari data yang
dimiliki Jatam, perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab
tersebut PT Energi Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi
terbesar ke dua untuk skala Kuasa Pertambangan (KP ) di Samarinda setelah
Insani Bara Perkasa (IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai
berproduksi sejak 9 November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan
yang awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4
kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari
penanganan kasus tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam
Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan
kinerja kepolisian yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus
kematian anak dilubang tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi
jika kasuskasus kejahatan tambang selama ini melibatkan tokohtokoh penting dan
pemilik modal selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus
ini telah, berlarutlarut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan
perkara menurutnya, mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal
184 KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau bendabenda yang
ada hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan
melayangkan petisi ke sejumlah pejabat di Samarinda dan Kaltim, Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky
Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melakukan supervisi
kasus meninggalnya anak – anak di lubang tambang batu bara di Samarinda.
Demikian dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak
Kapolda Kaltim dan Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas
kasus 8 anak yang dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya
tidak diusut sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga
kata Merah, sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas
kasus terakhir dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus
kasuskasus sebelumnya yang belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian
Samarinda. Kami menganjurkan Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan
hidup selain pasal pidana umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar
seperti pihak PT ECI, Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.
Menurut analisis yang saya dapatkan dari berita di
atas, sudah berdasarkan hukum yang ada. Namun, ada beberapa pihak yang membuat
hukum itu tidak berjalan sesuai dengan
sebagaimana mestinya. Pertambangan dan lingkungan ibarat dua mata keping
uang yang saling mengkait. Kegiatan pertambangan mulai dari eksplorasi sampai
eksploitasi dan pemanfaatannya mempunyai dampak terhadap lingkungan yang
bersifat positif mau pun negatif yang menimbulkan kematian terhadap manusia,
agar pemanfaatan sumber daya mineral memenuhi kaidah optimalisasi antara
kepentingan pertambangan dan terjaganya kelestarian lingkungan. Maka dalam
kegiatan sektor pertambangan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan
diperlukan pengawasan terhadap ketaatan lingkungan hidup yang di terapkan. Melihat
kejadian yang terjadi pada anak berusia 10 tahun yang tenggelam di lubang bekas
galian tambang tersebut, semestinya masyarakat bertindak cepat dan melakukan
perlawanan atau bahkan penolakan terhadap kegiatan tambang. Masyarakat
seharusnya mampu melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan seperti, melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila melihat
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Masyarakat seharusnya
berpikir bahwa mereka memiliki hukum yang kuat terhadap daerah nya tersebut,
apalagi mengenai hak tempat tinggal yang nyaman dan aman. Pemerintah lah yang
seharusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi di lingkungan masyarakat ,
karena itu adalah tugas pemerintah. Tentu saja tidak ada perusahaan-perusahaan
yang berani berbuat legal apabila pemerintahnya selalu mengontrol
perusahaan-perusahaan yang ada.