Nama : Aidil Fitrianor
Nim : 1402055149
8 bocah tewas di lubang bekas galian
tambang,
Pemkot samarinda abai
Setidaknya delapan bocah
meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat
ini. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa
Makmur, Palaran. Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenang
di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada bulan lalu.
Namun hingga kini lubang
maut tersebut tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya
sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan seluas sekitar 15 X
20 meter tersebut hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila
dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian
terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang pinggir kolam
masih terlihat jelas bekas kerukan eskavator dan singkapan-singkapan batubara
yang belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat
di pinggir jalan raya, tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teronggok
begitu saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT
48 Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang
memang sudah mendapat penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah
kebun buah milik warga.
Hanya saja, Pemkot
Samarinda melalui pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan
pemerintah terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun
terbukti. Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang
berada tak jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan
hanya akfititas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga, aktifitas
pengangkutan batu bara (hauling) yang
melalui beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena
ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya diijinkan. Dikatakannya, pengumpulan batu bara
dilakukan dengan memasukkan batu bara ke dalam karung – karung untuk
selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas. “Jadi sebetulnya masyarakat itu nggak setuju,”
kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim berencana akan mengambil
upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau keluarga menempuh jalur hukum, Jatam
siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab atas
kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil
Walikota Samarinda Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan
sudah ada korban jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut
kecelakaan dan memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan
kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait
kinerja penambang, menurut Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan
Samarinda. “Apakah lubang ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini
masih aktif tambang. Kalau area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga
warga yang melanggar kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi.
Pemkot harus ada penelitian yang lebih objektif, tepatnya adalah penyelidikan
kepolisian,” kata Nusyirwan.
Jatam
berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359
Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal
112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak
melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan
perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”
telah terpenuhi. “Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus
bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Dari penelusuran Jatam
Kaltim kata terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang
seperti yang dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya
tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada
pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki
Jatam, perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT
Energi Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke
dua untuk skala Kuasa Pertambangan (KP ) di Samarinda setelah Insani Bara
Perkasa (IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi
sejak 9 November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang
awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4
kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan
kasus tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24
April 2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja
kepolisian yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian
anak dilubang tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus‑kasus
kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh‑tokoh penting dan pemilik modal
selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini
telah, berlarut‑larut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan
perkara menurutnya, mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal
184 KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau benda‑benda yang
ada hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke sejumlah pejabat di Samarinda
dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak Kapolda
Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) melakukan supervisi kasus meninggalnya anak – anak di lubang tambang batu bara di
Samarinda. Demikian dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak
Kapolda Kaltim dan Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas
kasus 8 anak yang dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya
tidak diusut sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga
kata Merah, sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas
kasus terakhir dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasus‑kasus
sebelumnya yang belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda.
Kami menganjurkan Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup
selain pasal pidana umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti
pihak PT ECI, Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.
Analisis Hukum
Judul di atas cukup
menarik seperti yang dituliskan “Pemkot Samarinda abai”membuat pembaca
penasaran untuk membaca berita tersebut,pemilihan kata judul juga mudah di
cerna membuat pembaca bertanya Tanya mengapa pemkot acuh?,mengapa delapan bocah
tersebut tewas.
Saya pikir di sini wartawan menggunakan elemen jurnalistik
pemantau kekuasaan ,menyumbang lidah-lidah yang tertindas wartawan menunjukan
siapa yang salah
Seperti yang di beritakan pada kalimat”namun hingga kini lubang
maut tersebut menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya
sedikitpun. Kalimat ini sangat menegaskan bahwa pemkot samarinda masih saja
acuh terhadap lubang bekas tambang tersebut
Tumpukan batu bara yang sudah di galipun di biarkan teronggok
begitu saja Di sebutkan juga warga menolak aktivitas pengerokan dan
pengangkutan batu bara namun karna ada kompensasi uang debu kepada beberapa
warga maka kemudian di iznkan dan memang apa yang di khawatirkan terjadi
terbukti selain merenggut nyawa intesitas banjir semakin tinggi
Dan kata dari merah johansyah dimistato”perusahaan dan pemkot
samarinda harus bertanggung jawab”di sini wartawan ingin meyakinkan kepada
pembaca bahwa pemkot bersalah dan harus bertanggung jawab dan dei tegaskan juga
dengan adanya kalimat “Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan
Pasal 359 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab
unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal
112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak
melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan
perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”
telah terpenuhi. “Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus
bertanggungjawab,”
Dan kalimat “Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan Komisi
Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang dalam 3
tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut sampai
tuntas.
Di sini wartawan juga membela warga yang keadlannya belum di
berikan,polisi seperti mementingkan kepentingan pemerintah sehingga kasus ini
tidak di usut-usut agar beritanya hiloang dengan berjalannya waktu tetapi dengan
kalimat tadi wartawan ingin membuka lagi mata dan pikiran pembaca masih
lemahnya hukum di negeri ini
Dan saya pikir di berita ini menggunakan elemen jurnalistik
pemantau kekuasaan untuk menunjukan siapa yang salah.