Selasa, 02 Juni 2015

M. Fachrian Noor Hidayat
1402055145





1.         Sumber Media                        : Kalitimpost.co.id
2.       Judul Berita                           : Sudah 9 Bocah tewas, Kenapa Kasusnya Sunyi Senyap
3.       Edisi Penerbitan                    : Minggu, 03/Mei/2015 09:17Wita

Sudah 9 BocahTewas, Kenapa Kasusnya Sunyi Senyap ?


Kasus sembilan bocah yang tewas di lubang tambang di Samarinda perlu dimonitor bersama. Sebab, hingga kini, kasus tersebut di kepolisian belum jelas ujungnya.
 BERDASAR penelusuran Kaltim Post, hampir semua keluarga korban telah menerima bantuan sebagai bentuk tali asih dari perusahaan tambang. Namun, tentu itu diharapkan banyak pihak tidak memutus proses hukum yang berjalan.
Media ini pun berusaha memastikan hasil penyelidikan polisi. Memang belum ada kabar menggembirakan bagi para keluarga korban.
Meski prosesnya terkesan lambat, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Antonius Wisnu Sutirta memastikan kasus-kasus tersebut jalan terus. “Masih dalam tahap penyelidikan,” jelas Wisnu kemarin. Sebagai pimpinan polisi tertinggi di Samarinda, dia masih menyayangkan minimnya tanggung jawab pemilik perusahaan.
“Reklamasi kolam tambang itu harusnya dijalankan. Kalau tidak diperhatikan ya kemungkinan masih muncul korban lain nantinya,” tegasnya.
Saat disinggung soal kasus terakhir yang menewaskan Muhammad Raihan Saputra (10), Wisnu menyebut polisi memang berhati-hati menanganinya. Mereka pun tengah meminta keterangan saksi ahli dari Surabaya. Ditanya kompetensi saksi ahli itu, Wisnu belum jauh membeberkan.
“Intinya tidak mandek. Kami juga tidak sembarangan menetapkan tersangka, karena harus dilengkapi bukti-bukti,” tegas Wisnu.
Ya, kasus meninggalnya Raihan pada 22 Desember 2014 itu memang langsung berdampak viral. Saat dia ditemukan tewas di lubang tambang yang tidak direklamasi milik PT GBE di Jalan Padat Karya, Sempaja Utara, Samarinda Utara, orangtua korban langsung beraksi. Mereka membuat petisi yang ditandatangani 10 ribu orang. Petisi menutup lubang tambang itu telah diserahkan kepada menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Komnas HAM.
Selain menunggu keterangan saksi ahli rampung, polisi menunggu hasil pemeriksaan kondisi air kolam yang menewaskan Raihan ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri di Surabaya.
Media ini pun berupaya memastikan kembali progres penyelidikan polisi pada satu per satu kasus kematian sembilan bocah di lubang bekas tambang. Mulai kasus pada 13 Juli 2011 ketika tiga anak tewas di lubang bekas tambang batu bara yang diduga milik PT HC di Sambutan, hingga kasus Raihan (selengkapnya lihat grafis). Hasilnya, penyelidikan semua kasus itu memang belum banyak kemajuan.
Kapolresta Samarinda pun menyatakan belum bisa membeberkan detail progres satu per satu kasus tersebut. “Tapi, seharusnya ini jadi perhatian. Baik bagi orangtua dan pihak pengusaha batu bara,” tegas Wisnu. Perhatian dalam arti sama-sama menjaga. Dari perusahaan tambang, bisa dengan memberikan tanda larangan, pembatas, serta penjaga, di setiap bekas lubang tambang.
Di sisi lain, Kepala Badan Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (BLU) Universitas Mulawarman (Unmul) Sarosa Hamongpranoto berpendapat, sembilan bocah yang meninggal di kolam bekas tambang adalah cerminan lemahnya tanggung jawab pihak perusahaan.
Pengusaha yang memiliki kewajiban dalam mereklamasi lahan justru tidak patuh. Setelah mengeksploitasi, reklamasi tidak dijalankan. Galian dibiarkan menganga. Ironisnya, Pemkot Samarinda selaku pengawas tidak menindak tegas. Apalagi menginventarisasi berapa banyak lubang yang mengancam.
“Pemkot harus melindungi warganya termasuk anak-anak kecil. Oleh karena itu, harus ada action dari pemkot. Pengusaha juga harus mematuhi kewajibannya melakukan reklamasi,” tuturnya.
Sejauh ini, sebut dia, tidak ada program terencana dalam mengelola kolam bekas tambang batu bara. Karena itu, ancaman bagi warga sekitar belum berhenti. “Kalau hanya dipasang papan pengumuman, tidak efektif. Area galian harus dipagar. Pengamanannya harus ada,” sambungnya.
Sarosa  kemudian menyoroti kinerja kepolisian dalam melakukan penyelidikan. Sejak kasus tiga anak meninggal sekaligus di kolam eks tambang batu bara pada 13 Juli 2011, belum ada satu pun pihak yang dinyatakan bertanggung jawab. Hasilnya tidak ada efek jera, sehingga kelalaian terus terjadi.
“Mestinya harus action karena ini sudah merenggut nyawa orang lain. Polisi harus sigap melakukan tindakan dalam rangka pencegahan, tidak ada efek jera,” sesalnya.
Duduk permasalahannya disebut Sarosa jelas, korban meninggal akibat faktor kelalaian. Namun, sampai sekarang tidak ada kelanjutan proses yang ditangani oleh kepolisian. “Ini masalah kelalaian. Ada sesuatu yang tidak dilaksanakan, ada pelanggaran. Segera dilakukan tindakan sehingga tidak ada korban lain,” tegasnya.

Analisisnya adalah sebagai berikut     :

Analisis berdasarkan etika dan hukum jurnalis


Pasal 1 yang berbunyi, Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Menurut saya, berita yang disampaikan oleh sang wartawan cukup akurat sehingga seseorang yang membaca berita tersebut bisa dengan jelas dan mengerti isi berita tersebut. 
Pasal 2 yang berbunyi, Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Menurut saya, wartawan tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan terlihat lebih profesional. Hal tersebut bisa kita lihat dari berita yang disajikan
Pasal 3 yang berbunyi, Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Menurut saya, wartawan tersebut telah menyampaikan berdasarkan fakta yang ada, dan telah informasi yang ada serta menerapkan praduga tak bersalah.