1402055145
1.
Sumber Media : Kalitimpost.co.id
2. Judul
Berita : Sudah 9
Bocah tewas, Kenapa Kasusnya Sunyi Senyap
3. Edisi
Penerbitan : Minggu, 03/Mei/2015
09:17Wita
Sudah 9 BocahTewas, Kenapa Kasusnya Sunyi Senyap ?
Kasus sembilan bocah
yang tewas di lubang tambang di Samarinda perlu dimonitor bersama. Sebab,
hingga kini, kasus tersebut di kepolisian belum jelas ujungnya.
BERDASAR penelusuran Kaltim
Post, hampir semua keluarga korban telah menerima bantuan sebagai bentuk
tali asih dari perusahaan tambang. Namun, tentu itu diharapkan banyak pihak
tidak memutus proses hukum yang berjalan.
Media ini pun berusaha
memastikan hasil penyelidikan polisi. Memang belum ada kabar menggembirakan
bagi para keluarga korban.
Meski prosesnya
terkesan lambat, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Antonius Wisnu Sutirta
memastikan kasus-kasus tersebut jalan terus. “Masih dalam tahap penyelidikan,”
jelas Wisnu kemarin. Sebagai pimpinan polisi tertinggi di Samarinda, dia masih
menyayangkan minimnya tanggung jawab pemilik perusahaan.
“Reklamasi kolam
tambang itu harusnya dijalankan. Kalau tidak diperhatikan ya kemungkinan masih
muncul korban lain nantinya,” tegasnya.
Saat disinggung soal
kasus terakhir yang menewaskan Muhammad Raihan Saputra (10), Wisnu menyebut
polisi memang berhati-hati menanganinya. Mereka pun tengah meminta keterangan
saksi ahli dari Surabaya. Ditanya kompetensi saksi ahli itu, Wisnu belum jauh
membeberkan.
“Intinya tidak mandek.
Kami juga tidak sembarangan menetapkan tersangka, karena harus dilengkapi
bukti-bukti,” tegas Wisnu.
Ya, kasus meninggalnya
Raihan pada 22 Desember 2014 itu memang langsung berdampak viral. Saat dia
ditemukan tewas di lubang tambang yang tidak direklamasi milik PT GBE di Jalan
Padat Karya, Sempaja Utara, Samarinda Utara, orangtua korban langsung beraksi.
Mereka membuat petisi yang ditandatangani 10 ribu orang. Petisi menutup lubang
tambang itu telah diserahkan kepada menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup
serta Komnas HAM.
Selain menunggu
keterangan saksi ahli rampung, polisi menunggu hasil pemeriksaan kondisi air
kolam yang menewaskan Raihan ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes
Polri di Surabaya.
Media ini pun berupaya
memastikan kembali progres penyelidikan polisi pada satu per satu kasus
kematian sembilan bocah di lubang bekas tambang. Mulai kasus pada 13 Juli 2011
ketika tiga anak tewas di lubang bekas tambang batu bara yang diduga milik PT
HC di Sambutan, hingga kasus Raihan (selengkapnya lihat grafis).
Hasilnya, penyelidikan semua kasus itu memang belum banyak kemajuan.
Kapolresta Samarinda
pun menyatakan belum bisa membeberkan detail progres satu per satu kasus
tersebut. “Tapi, seharusnya ini jadi perhatian. Baik bagi orangtua dan pihak
pengusaha batu bara,” tegas Wisnu. Perhatian dalam arti sama-sama menjaga. Dari
perusahaan tambang, bisa dengan memberikan tanda larangan, pembatas, serta
penjaga, di setiap bekas lubang tambang.
Di sisi lain, Kepala
Badan Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (BLU) Universitas Mulawarman
(Unmul) Sarosa Hamongpranoto berpendapat, sembilan bocah yang meninggal di
kolam bekas tambang adalah cerminan lemahnya tanggung jawab pihak perusahaan.
Pengusaha yang memiliki
kewajiban dalam mereklamasi lahan justru tidak patuh. Setelah mengeksploitasi,
reklamasi tidak dijalankan. Galian dibiarkan menganga. Ironisnya, Pemkot
Samarinda selaku pengawas tidak menindak tegas. Apalagi menginventarisasi
berapa banyak lubang yang mengancam.
“Pemkot harus
melindungi warganya termasuk anak-anak kecil. Oleh karena itu, harus ada action dari
pemkot. Pengusaha juga harus mematuhi kewajibannya melakukan reklamasi,”
tuturnya.
Sejauh ini, sebut dia,
tidak ada program terencana dalam mengelola kolam bekas tambang batu bara.
Karena itu, ancaman bagi warga sekitar belum berhenti. “Kalau hanya dipasang
papan pengumuman, tidak efektif. Area galian harus dipagar. Pengamanannya harus
ada,” sambungnya.
Sarosa kemudian
menyoroti kinerja kepolisian dalam melakukan penyelidikan. Sejak kasus tiga
anak meninggal sekaligus di kolam eks tambang batu bara pada 13 Juli 2011,
belum ada satu pun pihak yang dinyatakan bertanggung jawab. Hasilnya tidak ada
efek jera, sehingga kelalaian terus terjadi.
“Mestinya harus action karena
ini sudah merenggut nyawa orang lain. Polisi harus sigap melakukan tindakan
dalam rangka pencegahan, tidak ada efek jera,” sesalnya.
Duduk permasalahannya disebut Sarosa jelas, korban
meninggal akibat faktor kelalaian. Namun, sampai sekarang tidak ada kelanjutan
proses yang ditangani oleh kepolisian. “Ini masalah kelalaian. Ada sesuatu yang
tidak dilaksanakan, ada pelanggaran. Segera dilakukan tindakan sehingga tidak
ada korban lain,” tegasnya.
Analisisnya adalah sebagai berikut :
Analisis berdasarkan etika dan hukum jurnalis
Pasal 1 yang berbunyi, Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk. Menurut saya, berita yang disampaikan oleh sang wartawan cukup
akurat sehingga seseorang yang membaca berita tersebut bisa dengan jelas dan
mengerti isi berita tersebut.
Pasal 2 yang berbunyi, Wartawan Indonesia menempuh
cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Menurut saya, wartawan tersebut telah melaksanakan tugasnya
dengan baik dan terlihat lebih profesional. Hal tersebut bisa kita lihat dari
berita yang disajikan
Pasal 3 yang berbunyi, Wartawan Indonesia selalu menguji
informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Menurut saya,
wartawan tersebut telah menyampaikan berdasarkan fakta yang ada, dan telah
informasi yang ada serta menerapkan praduga tak bersalah.