NAMA :
Kelvin Ariyo Suprayogi Adi Putra
NIM : 1402055138
Setidaknya delapan
bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga
saat ini.korban terakhir bernama Nadila Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa
Makmur, Palaran. Bocah 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenamg di bekas
galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim pada bulan lalu.
Namun
hingga kini lubang maut tersebut tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya,
tanpa tanda bahaya sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan
seluar sekitar 15x20 meter tersebut hanya berjaarak puluhan meter dari
permukiman warga. Bila dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun
menurut warga, bagian terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang
pinggir kolam masih terlihat jelas bekas kerukan eskavator dan
singkapan-singkapan betubara yang belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter
dari lubang maut atau tepat di pinggir jalan raya, tumpukan batu bara yang
sudah digali dibiarkan teringgok begitu saja. Basuki rahmat, ketua RT 48
Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang
memang sudah mendapat penolakn warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah
kebun buah milik warga.
Hanya
saja, Pemkot Samarinda melalu pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan
tangan pemerintahan terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan
warga pun terbukti. Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah
RT 48 yang berada tak jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan
hanya aktifitas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga, aktifitas
pengangkutan batu bara (hauling) yang melau beberapa RT di kelurahan tersebut
juga sempat dihentikan. Namun karena ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa
warga hauling akhirnya diijiinkan. Dikatakannya, pengumpulan batu bara ke dalam
karung-karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas, “jadi
sebetulnya mayarakat itu nggak setuju” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Kaltim berencana akan mengambil upaya hokum, atas kejadian tersebut. “Kalau
keluarga menempuh jalur hokum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan pemkot
Samarinda harus bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,”
kata Merah Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil Walikota
Samarinda Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah
ada korban jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak hukum. “ karena
menyangkut kecelakaan dan memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan
kepolisisan, “ kata Nusyirwan
Jatam berpendapat, Walikota
dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab UndangUndang
Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa“, “karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP
maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak melakukan
pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap
peraturan perundangundangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya
kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi.
“Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah
Johansyah
Dari penelusuran Jatam
Kaltim terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang
seperti yang dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995,
diantaranya tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak
ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki
Jatam, perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT
Energi Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke
dua untuk skala Kuasa Pertambangan (KP) di Samarinda setelah Insani Bara
Perkasa (IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi
sejak 9 November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang
awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4
kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan
kasus tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24
April 2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja
kepolisian yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian
anak dilubang tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika
kasuskasus kejahatan tambang selama ini melibatkan tokohtokoh penting dan
pemilik modal selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah,
berlarutlarut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara
menurutnya, mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184
KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau bendabenda yang ada
hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan
petisi ke sejumlah pejabat di Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang
(Jatam) Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) melakukan supervisi kasus meninggalnya
anak – anak di lubang tambang batu bara di Samarinda. Demikian dikatakan Merah
Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda
Kaltim dan Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8
anak yang dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak
diusut sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata
Merah, sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus
terakhir dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasuskasus
sebelumnya yang belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda.
Kami menganjurkan Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup
selain pasal pidana umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti
pihak PT ECI, Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.
Hasil
Analisa :
Menurut saya berita ini sudah
berdasarkan hukum-hukum yang ada, mengenai tentang tenggelamnya 8 bocah di
bekas galian tambang, karena perusahaan tambang tidak memasang rambu-rambu
tanda bahaya sedikitpun. Seharusnya sudah menjadi tanggungjawab perusahaan
karena adanya korban jiwa dan harusnya pemerintah juga dengan cepat mengusut
kasus ini agar tidak ada lagi korban jiwa. Sangat disayangkan pemkot
mengabaikannya padahal sudah jelas merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Pasal-Pasal yang tekait. Penyelidikan kasus berlarut-larut tanpa
adanya kepastian. Namun bukan hanya pemerintah dan perusahaan yang disalahkan
dalam kasus ini, masyarakat juga harusnya menolak dengan tegas terhadap
perusahaan yang akan melakukan kegiatan penambangan. Seharusnya semua pihak
ikut dalam melakukan pengawasan sehingga tidak ada lagi korban jiwa dan
memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.