Selasa, 02 Juni 2015



NAMA                     : Kelvin Ariyo Suprayogi Adi Putra
NIM                       : 1402055138


Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini.korban terakhir bernama Nadila Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran. Bocah 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenamg di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim pada bulan lalu.
            Namun hingga kini lubang maut tersebut tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan seluar sekitar 15x20 meter tersebut hanya berjaarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
            Sepanjang pinggir kolam masih terlihat jelas bekas kerukan eskavator dan singkapan-singkapan betubara yang belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat di pinggir jalan raya, tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teringgok begitu saja. Basuki rahmat, ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah mendapat penolakn warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun  buah milik warga.
            Hanya saja, Pemkot Samarinda melalu pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan pemerintahan terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun terbukti. Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang berada tak jauh dari lubang semakin tinggi.
            Bukan hanya aktifitas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga, aktifitas pengangkutan batu bara (hauling) yang melau beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya diijiinkan. Dikatakannya, pengumpulan batu bara ke dalam karung-karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas, “jadi sebetulnya mayarakat itu nggak setuju” kata Basuki.
            Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim berencana akan mengambil upaya hokum, atas kejadian tersebut. “Kalau keluarga menempuh jalur hokum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan pemkot Samarinda harus bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah Johansyah, Dimisiator Jatam.
            Sementara itu, Wakil Walikota Samarinda Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah ada korban jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak hukum. “ karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan kepolisisan, “ kata Nusyirwan
Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH.  Sebab unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi. “Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Dari penelusuran Jatam Kaltim terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam, perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT Energi Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua untuk skala Kuasa Pertambangan (KP) di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa (IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi sejak 9 November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4 kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasuskasus kejahatan tambang selama ini melibatkan tokohtokoh penting dan pemilik modal selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah, berlarutlarut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara menurutnya, mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau bendabenda yang ada hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke sejumlah pejabat di Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)  melakukan supervisi kasus meninggalnya anak – anak di lubang tambang batu bara di Samarinda. Demikian dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata Merah, sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasuskasus sebelumnya yang belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami menganjurkan Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain pasal pidana umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT ECI, Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.


Hasil Analisa :
Menurut saya berita ini sudah berdasarkan hukum-hukum yang ada, mengenai tentang tenggelamnya 8 bocah di bekas galian tambang, karena perusahaan tambang tidak memasang rambu-rambu tanda bahaya sedikitpun. Seharusnya sudah menjadi tanggungjawab perusahaan karena adanya korban jiwa dan harusnya pemerintah juga dengan cepat mengusut kasus ini agar tidak ada lagi korban jiwa. Sangat disayangkan pemkot mengabaikannya padahal sudah jelas merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal-Pasal yang tekait. Penyelidikan kasus berlarut-larut tanpa adanya kepastian. Namun bukan hanya pemerintah dan perusahaan yang disalahkan dalam kasus ini, masyarakat juga harusnya menolak dengan tegas terhadap perusahaan yang akan melakukan kegiatan penambangan. Seharusnya semua pihak ikut dalam melakukan pengawasan sehingga tidak ada lagi korban jiwa dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.