Nama : Poltak Rizki
NIM : 1402055085
Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam bekas
tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini. Korban terakhir bernama
Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan
Rawa Makmur, Palaran. Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat
berenang di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada
bulan lalu.
Namun hingga kini lubang maut tersebut tetap
menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya sedikitpun. Lokasi
lubang yang menganga berisi air dengan seluas sekitar 15 X 20 meter tersebut
hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila dicermati, kolam
tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian terdalam kolam tersebut
mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang pinggir kolam masih terlihat jelas bekas
kerukan eskavator dan singkapan-singkapan batubara yang belum dikeruk. Dan
hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat di pinggir jalan raya,
tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teronggok begitu saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur
mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah mendapat
penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun buah milik warga.
Hanya saja, Pemkot Samarinda melalui pihak Kelurahan
Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan
pemerintah terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga
pun terbukti. Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48
yang berada tak jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan hanya akfititas pengerukan yang mendapat
penolakan dari warga, aktifitas pengangkutan batu bara (hauling) yang melalui
beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena ada
kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya diijinkan.
Dikatakannya, pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu bara ke
dalam karung – karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas. “Jadi
sebetulnya masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim berencana
akan mengambil upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau keluarga menempuh
jalur hukum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot Samarinda harus
bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah
Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil Walikota Samarinda Nusyirwan
Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah ada korban jiwa maka
ini sudah menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban
maka yang terbaik adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait kinerja penambang, menurut
Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan Samarinda. “Apakah lubang
ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini masih aktif tambang. Kalau
area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga warga yang melanggar
kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi.
Pemkot harus ada penelitian yang lebih objektif, tepatnya adalah
penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota
Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang‑Undang
Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab
unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang
tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat
berwenang“, “tidak melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundang‑undangan
dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”,
“mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi. “Perusahaan tambang
dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Dari penelusuran Jatam Kaltim terlihat bahwa
perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam
keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang plang
atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan
orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam, perusahaan kontraktor
Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT Energi Cahaya Industritama
(ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua untuk skala Kuasa
Pertambangan (KP) di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa (IBP). Luasannya
mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi sejak 9 November 2010 dan
akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang awalnya meleburkan diri dari 3
perusahaan skala KP ini beroperasi di 4 kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur,
Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus tewasnya banyak
korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya
sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian yang tak pernah
mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang tambang
sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus‑kasus
kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh‑tokoh
penting dan pemilik modal selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah, berlarut‑larut
tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara menurutnya,
mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti
tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau benda‑benda
yang ada hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke sejumlah pejabat
di Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak
Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) melakukan supervisi kasus
meninggalnya anak – anak di lubang tambang batu bara di Samarinda. Demikian
dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan Komisi
Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang dalam 3
tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut sampai
tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata Merah, sangat
bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir dan
kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasus‑kasus sebelumnya yang
belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami menganjurkan
Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain pasal pidana
umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT ECI,
Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.
Analisis :
Dalam berita ini Pemerintah seperti sudah disalahkan
atas apa yang terjadi terhadapa para korban dari lubang bekas galian tambang.
Padahal belum ada keputusan resmi dari pengadilan yang menyatakan pemerintah
bersalah. Hal ini sangat bertentangan dengan etika jurnalistik yaitu Seseorang
atau suatu pihak tidak boleh disebut atau dikesankan bersalah melakukan sesuatu
tindak pidana atau pelanggaran hukum lainnya sebelum ada putusan tetap
pengadilan. Sama seperti dugaan-dugaan yang ditujukan kepada Perusahaan yang
berhak atas lahan tambang yang memakan banyak korban itu. Berita ini terkesan
memojokkan Perusahaan, hal ini tidak sesuia dengan etika jurnalistik yaitu prinsip
adil, artinya tidak memihak atau menyudutkan seseorang atau sesuatu pihak,
tetapi secara faktual memberikan porsi yang sama dalam pemberitaan baik bagi
polisi, jaksa, tersangka atau tertuduh, dan penasihat hukum maupun kepada para
saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.