Nama : Wisnu Prasetya
NIM : 1402055125
]
Feature
News
Kini Nasi
Telah Menjadi Bubur
“Hancur
sudah segalanya,” ibu separuh baya itu mengusap pipinya yang dibasahi air mata.
Ketika anak sulungnya pulang secara mendadak dan mengajaknya berdiskusi di
dalam kamar yang pengap. Berkali-kali ibu separuh baya itu meminta anaknya
mengulangi ucapannya namun tetap yang di ucapkan anaknya tidak berubah.
Tubuhnya bergemetar dan hanya mampu mengusap dada.
Sudah
hampir sepekan sejak obrolan itu ibu Wulan hanya diam di kamar sementara anak
sulungnya semakin gelisah. Wanita kelahiran tahun 1969 ini tinggal di Hulu
Sungai Mahakam (Mahulu) bersama suami dan tiga orang anak. Kemiskinan bukan
halangan untuk tidak menyekolahkan ketiga anaknya. Ibu Wulan selalu bertekad
harus bisa mengantarkan anak-anaknya sampai sukses, ya salah satu jalan adalah
dengan menyekolahkan mereka. Ibu Wulan berjualan gorengan sementara sang suami
bekerja sebagai buruh tani, ketiga anaknya pun ikut membatu ekonomi keluarga
dengan menjual gorengan di sekolah. Begitupun dengan si sulung. Sebutlah ia
Melati. Melati tanpa rasa gengsi selalu membawa gorengan
ke sekolahnya, Melati memang anak yang rajin dan pintar, sejak SD
hingga SMA predikat juara satu selalu tersemat padanya. Ia mendapat beasiswa
penuh untuk bersekolah di salah satu sekolah kejuruan favorit di kota
Samarinda, SMK N 7 Samarinda. Selepas lulus Melati membantu berjualan gorengan
dan menjadi penjaga toko di samping menunggu panggilan kerja.
Tekad
ibu Wulan yang ingin menyekolahkan anaknya rupanya di dengar oleh
yang Maha Kuasa, ibu Wulan mendapatkan harta warisan sepeninggal mertuanya.
Tanpa berpikir panjang harta itupun di pakai untuk melanjutkan sekolah Melati
ke perguruan tinggi. Rasa bangga menyelimuti keluarga ini, bahwa yang miskin
mampu bersekolah setinggi-tingginya. Melati melanjutkan sekolahnya di
Universitas Mulawarman Samarinda, di tahun pertama sungguh sangat sulit, uang
yang ibu Wulan punya tidaklah mencukupi kebutuhan Melati. Melati pun mencari
pekerjaan dan semakin giat berusaha untuk mendapatkan beasiswa. Pak
Indra suami ibu Wulan seringkali menyelipkan kebanggaanya di sela-sela obrolan
dengan tetangga, ibu Wulan kadang merasa risih oleh sikap suaminya yang terlalu
berlebihan.
Namun
godaan memang selalu datang menghadang meremukan jiwa yang bersinar. Mungkin
Tuhan sedang menguji atau mungkin Tuhan marah. Si sulung yang selama ini
menjadi kebanggaan bahkan menjadi panutan adik-adiknya. Kini sudah seminggu ada
di rumah, ia telah mengambil cuti dari kuliahnya, ia mengurung diri di kamar
menanti jawaban ibu Wulan dengan gelisah karena sekarang perutnya mulai
terlihat membesar.
Siapa
sangka gadis lugu yang pintar, yang secara sepintas terlihat seperti santri,
kerudung panjang dan jilbab yang selalu menutupi auratnya. Tutur kata yang
lemah lembut dan ambisi yang menyala seakan padam entah kenapa. “Apa yang
sebenarnya kau cari? Apa yang kau tuju? Kenapa bisa? Kenapa begini? Terjebak
nista ! mau bagaimana sekarang?”, wajah ibu Wulan mengguratkan kebingungan dan
kekecewaan yang dalam, tatapannya kosong.
Hidup
sendiri di sebuah kos-kosan di kota metropolitan yang penuh hingar bingar, jauh
dari pengawasan orang tua membuat Melati lalai, terbawa arus pergaulan
bebas. tak ada alat yang bisa menghapus nama keluarga yang telah tercoreng, tak
ada jalan yang bisa di tempuh dengan jalan suci. Janin yang kini berkembang
tumbuh diperutnya adalah anak tak berdosa. Dengan tekad kuat Melati memilih
untuk menikah dari pada harus membuat dosa yang lain.
Ibu Wulan masih saja bungkam perihal
pengakuan anak sulungnya itu. Hatinya hancur berkeping-keping. Peluh yang telah
ia korbankan untuk anaknya hanya berakhir sia-sia, hanya berbuah cacian dan
cibiran tetangga. Tak ada lagi kebanggaan, tak ada lagi harapan, kekecewaan
terlalu dalam melukai hati hingga tak ada lagi semangat untuk membiayai
anak-anaknya sekolah.
Melati yang semakin gundah karena
tak ada respon lebih lanjut dari ibu Wulan, akhirnya Melati memberanikan diri
berbicara dengan ayahnya (pak Indra) di temani pacarnya, kemarahan pun tak
dapat terelakan lagi. Dengan sedikit percekcokan dan perundingan sengit
akhirnya pernikahanpun akan di gelar.
Tak ada percakapan lagi ibu Wulan
memilih meninggalkan rumah ketika ijab qobul di gelar. Tak ada sedikit pun
perasaan ingin menemani dan turut dalam acara. “Itu bukan anakku” itulah ucapan
yang ia lontarkan ketika beberapa tetangga menanyainya.