Said Ahmad
1402055089
Delapan Bocah Tewas di Lubang Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai
Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam bekas tambang di
Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini. Korban terakhir bernama Nadia
Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa
Makmur, Palaran. Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenang
di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada bulan lalu.
Namun hingga kini lubang maut tersebut tetap menganga, menunggu nyawa
selanjutnya, tanpa tanda bahaya sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi
air dengan seluas sekitar 15 X 20 meter tersebut hanya berjarak puluhan meter
dari permukiman warga. Bila dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan.
Namun menurut warga, bagian terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7
meter.
Sepanjang pinggir kolam masih terlihat jelas bekas kerukan eskavator
dan singkapan-singkapan batubara yang belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an
meter dari lubang maut atau tepat di pinggir jalan raya, tumpukan batu bara
yang sudah digali dibiarkan teronggok begitu saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sejak
awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah mendapat penolakan dari warga.
Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun buah milik warga.
Hanya saja, Pemkot Samarinda melalui pihak Kelurahan Rawa Makmur
sebagai perpanjangan tangan pemerintah
terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun terbukti.
Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang berada tak
jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan hanya akfititas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga,
aktifitas pengangkutan batu bara (hauling) yang melalui beberapa RT di
kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena ada kompensasi “uang
debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya diijinkan. Dikatakannya,
pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu bara ke dalam karung –
karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas. “Jadi sebetulnya
masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim berencana akan mengambil
upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau keluarga menempuh jalur hukum, Jatam
siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab atas
kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil Walikota Samarinda Nusyirwan Ismail ketika
dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah ada korban jiwa maka ini sudah
menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban maka yang terbaik
adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait kinerja penambang, menurut Nusyirwan akan lebih
jelas pada Dinas Pertambangan Samarinda. “Apakah lubang ini reklamasi yang
tidak dilakukan, apakah area ini masih aktif tambang. Kalau area aktif tambang
apakah ada rambu – rambu sehingga warga yang melanggar kesitu, atau bagaimana
pemkot tidak bisa lagi. Pemkot harus ada
penelitian yang lebih objektif, tepatnya adalah penyelidikan kepolisian,” kata
Nusyirwan.
Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat
diterapkan Pasal 359 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal 112
UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa“,
“karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal
359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak melakukan
pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap
peraturan perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya
kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi.
“Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah
Johansyah
Dari penelusuran Jatam Kaltim kata terlihat bahwa perusahaan tidak
mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam keputusan menteri
ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang plang atau tanda
peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain
masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam, perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan
yang bertanggungjawab tersebut PT Energi Cahaya Industritama (ECI). PT ECI
merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua untuk skala Kuasa Pertambangan (KP )
di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa (IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar
dan sudah mulai berproduksi sejak 9 November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober
2018. Perusahaan yang awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini
beroperasi di 4 kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan
dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus tewasnya banyak korban di lubang
tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya sudah pernah
mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian yang tak pernah
mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang tambang sebelumnya.
Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus‑kasus kejahatan tambang selama
ini melibatkan tokoh‑tokoh penting dan pemilik modal selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah, berlarut‑larut tanpa kepastian. Jika
terjadi penghentian penyidikan perkara menurutnya, mestinya harus sesuai dengan
koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan,
saksi, surat atau benda‑benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana
bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke sejumlah pejabat di Samarinda dan
Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim
Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melakukan supervisi kasus meninggalnya anak –
anak di lubang tambang batu bara di Samarinda. Demikian dikatakan Merah
Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan Komisi Kepolisian Nasional
untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang dalam 3 tahun ini menjadi
korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut sampai tuntas. Kapolda harus
turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata Merah, sangat bersedia membantu
pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir dan kasus – kasus
sebelumnya.
“Sekaligus kasus‑kasus sebelumnya yang belum diselesaikan
penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami menganjurkan Kapolres untuk
menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain pasal pidana umum tentang
kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT ECI, Distamben bahkan
Walikota Samarinda,” lanjutnya.
Analisis Berita
JUDUL :
“ Delapan Bocah Tewas di Lubang Bekas Tambang,
Pemkot Samarinda Abai “
Dari penulisan judul, terlihat sudah cukup bagus dimana penulis
memakai konsistensinya dalam menulis judul, walaupun menggunakan huruf kecil,
tetapi setiap kata di awali dengan huruf besar. Namun masih terdapat kata yang
tidak sesuai dengan EYD seperti pada kata “Tewas” seharusnya diganti menjadi
kata “Meninggal” karena kata tewas pada umumnya merupakan kata yang berkonotasi
kasar.Selain itu penulisan judul seperti ini saya rasa kurang menarik minat
pembaca, seharusnya judul akan lebih menarik minat pembaca apabila di tulis
dengan huruf besar semua terlebih lagi berita ini juga belum lama terjadi,
selain itu juga pembaca akan bingung mengenai apa yang ada di lubang bekas
tambang tersebut sehingga menyebabkan delapan bocah meninggal dunia, namun ini
juga bisa membuat pembaca menjadi penasaran untuk membacanya.
LEAD :
“ Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam
bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini. Korban terakhir
bernama Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran. “
Menurut saya, ini bukan merupakan sebuah lead berita, selain itu
dengan mengawali berita dengan kelimat seperti ini, pembaca akan sedikit
bingung apalagi kalimatnya yang masih kurang baik dan tidak adanya penjelasan
kapan kejadian itu terjadi sehingga pembaca tidak mengetahui tanggal berapa dan
pukul berapa kejadiannya.
NARASUMBER :
Basuki Rahmat (Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur) adalah pihak yang
bertanggung jawab terhadap warganya karena dia merupakan Ketua RT di kelurahan
tersebut. Selain Basuki, ada juga narasumber lain yakni Nusyirwan Ismail (Wakil
Walikota Samarinda) dan Merah Johansyah (Dimisiator Jatam). Mereka juga
berperan penting terhadap kenyamanan dan kesejahteraan warga Samarinda, akan
tetapi ada sedikit kelemahan dari narasumber yang di pilih oleh penulis, dimana
dari ketiga narasumber tersebut tidak satupun narasumber yang penulis
wawancarai berasal dari masyarakat sekitar ataupun keluarga korban, ini tentu
menjadi pertanyaan bagi para pembaca padahal pihak yang paling terkait dari
kejadian ini adalah orang-orang di sekitar lokasi kejadian seperti
masyarakat,keluarga atau mungkin jika ada saksi mata. Selain itu juga penulis
tidak berusaha mencari tahu seorang narasumber yang berasal dari perusahaan
tersebut, padahal pihak perusahaan juga terlibat terhadap kasus ini.
ISI BERITA :
Dari isi berita saya rasa sudah cukup baik, akan tetapi masih ada
beberapa kekuranga dari berita tersebut. Misalnya, penulis tidak menuliskan secara
detail tentang bagaimana kejadian yang terjadi sehingga membuat delapan bocah
meninggal dunia. Selain itu juga cukup aneh rasanya jika sebuah berita tidak
mencantumkan penjelasan dari pihak terkait ataupun pihak korban padahal berita
ini adalah kasus yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Penulis juga
kurang mencari narasumber-narasumber penting sehingga ada beberapa hal yang
masih bisa menjadi pertanyaan bagi pembaca seperti bagaimana tanggapan atau
pertanggung jawaban perusahaan dan pemerintah terhadap kejadian ini.
PENULIS :
Dari analisis saya di atas, saya bisa sedikit menyimpulkan bahwa
penulis sudah berusaha menjalankan tugasnya sebagai jurnalis dengan baik,
tetapi masih ada beberapa hal yang masih kurang, seperti adanya kesalahan dalam
penulisan beberapa kalimat yang tidak sesuai dengan EYD. Misalnya pada kalimat:
“Bila dicermati, kolam tampak dangkal
dari kejauhan”. kata tampak dalam bahasa Indonesia yang benar seharusnya
menjadi “Terlihat”. Namun, dalam hal etika jurnalis, saya rasa penulis
juga sudah menjalakan aturan itu dengan baik. Ini terlihat bagaimana penulis
memberikan 3 orang narasumber yang mempunyai peran penting dimana bisa dibilang
mereka merupakan perwakilan suara masyarakat, penulis juga menuliskan beberapa aturan yang menjadi dasar
hukum kasus ini seperti yang terdapat pada ucapan Merah Johansyah : “ Jatam
berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Padal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang
siapa”,”karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”yang tercantum dalam
Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH”Setiap pejabat berwenang,”tidak
melakukan pengawasan”,”terhadap ketaatan penanggung jawab usaha”atau”kegiatan
terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan”,”mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan”,”mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”telah terpenuhi.”Perusahaan tambang dan Pemkot
Samarinda harus bertanggung jawab”.