Senin, 01 Juni 2015



Said Ahmad
1402055089


Delapan Bocah Tewas di Lubang Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai

Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri  di RT 43 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran. Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenang di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada bulan lalu.
Namun hingga kini lubang maut tersebut tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya sedikitpun. Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan seluas sekitar 15 X 20 meter tersebut hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian terdalam kolam tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang pinggir kolam masih terlihat jelas bekas kerukan eskavator dan singkapan-singkapan batubara yang belum dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat di pinggir jalan raya, tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teronggok begitu saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah mendapat penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun buah milik warga.
Hanya saja, Pemkot Samarinda melalui pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan  pemerintah terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun terbukti. Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang berada tak jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan hanya akfititas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga, aktifitas pengangkutan batu bara (hauling) yang melalui beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya diijinkan. Dikatakannya, pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu bara ke dalam karung – karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas. “Jadi sebetulnya masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim berencana akan mengambil upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau keluarga menempuh jalur hukum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil Walikota Samarinda Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah ada korban jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait kinerja penambang, menurut Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan Samarinda. “Apakah lubang ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini masih aktif tambang. Kalau area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga warga yang melanggar kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi.  Pemkot harus ada penelitian yang lebih objektif, tepatnya adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH.  Sebab unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi. “Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Dari penelusuran Jatam Kaltim kata terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam, perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT Energi Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua untuk skala Kuasa Pertambangan (KP ) di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa (IBP). Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi sejak 9 November 2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4 kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus tewasnya banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus‑kasus kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh‑tokoh penting dan pemilik modal selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah, berlarut‑larut tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara menurutnya, mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau benda‑benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke sejumlah pejabat di Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)  melakukan supervisi kasus meninggalnya anak – anak di lubang tambang batu bara di Samarinda. Demikian dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata Merah, sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasus‑kasus sebelumnya yang belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami menganjurkan Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain pasal pidana umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT ECI, Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.



Analisis Berita

JUDUL :
“ Delapan Bocah Tewas di Lubang Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai “
Dari penulisan judul, terlihat sudah cukup bagus dimana penulis memakai konsistensinya dalam menulis judul, walaupun menggunakan huruf kecil, tetapi setiap kata di awali dengan huruf besar. Namun masih terdapat kata yang tidak sesuai dengan EYD seperti pada kata “Tewas” seharusnya diganti menjadi kata “Meninggal” karena kata tewas pada umumnya merupakan kata yang berkonotasi kasar.Selain itu penulisan judul seperti ini saya rasa kurang menarik minat pembaca, seharusnya judul akan lebih menarik minat pembaca apabila di tulis dengan huruf besar semua terlebih lagi berita ini juga belum lama terjadi, selain itu juga pembaca akan bingung mengenai apa yang ada di lubang bekas tambang tersebut sehingga menyebabkan delapan bocah meninggal dunia, namun ini juga bisa membuat pembaca menjadi penasaran untuk membacanya.

LEAD :
“ Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran. “
Menurut saya, ini bukan merupakan sebuah lead berita, selain itu dengan mengawali berita dengan kelimat seperti ini, pembaca akan sedikit bingung apalagi kalimatnya yang masih kurang baik dan tidak adanya penjelasan kapan kejadian itu terjadi sehingga pembaca tidak mengetahui tanggal berapa dan pukul berapa kejadiannya.

NARASUMBER :
Basuki Rahmat (Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur) adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap warganya karena dia merupakan Ketua RT di kelurahan tersebut. Selain Basuki, ada juga narasumber lain yakni Nusyirwan Ismail (Wakil Walikota Samarinda) dan Merah Johansyah (Dimisiator Jatam). Mereka juga berperan penting terhadap kenyamanan dan kesejahteraan warga Samarinda, akan tetapi ada sedikit kelemahan dari narasumber yang di pilih oleh penulis, dimana dari ketiga narasumber tersebut tidak satupun narasumber yang penulis wawancarai berasal dari masyarakat sekitar ataupun keluarga korban, ini tentu menjadi pertanyaan bagi para pembaca padahal pihak yang paling terkait dari kejadian ini adalah orang-orang di sekitar lokasi kejadian seperti masyarakat,keluarga atau mungkin jika ada saksi mata. Selain itu juga penulis tidak berusaha mencari tahu seorang narasumber yang berasal dari perusahaan tersebut, padahal pihak perusahaan juga terlibat terhadap kasus ini.




ISI BERITA :
Dari isi berita saya rasa sudah cukup baik, akan tetapi masih ada beberapa kekuranga dari berita tersebut. Misalnya, penulis tidak menuliskan secara detail tentang bagaimana kejadian yang terjadi sehingga membuat delapan bocah meninggal dunia. Selain itu juga cukup aneh rasanya jika sebuah berita tidak mencantumkan penjelasan dari pihak terkait ataupun pihak korban padahal berita ini adalah kasus yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Penulis juga kurang mencari narasumber-narasumber penting sehingga ada beberapa hal yang masih bisa menjadi pertanyaan bagi pembaca seperti bagaimana tanggapan atau pertanggung jawaban perusahaan dan pemerintah terhadap kejadian ini.

PENULIS :
Dari analisis saya di atas, saya bisa sedikit menyimpulkan bahwa penulis sudah berusaha menjalankan tugasnya sebagai jurnalis dengan baik, tetapi masih ada beberapa hal yang masih kurang, seperti adanya kesalahan dalam penulisan beberapa kalimat yang tidak sesuai dengan EYD. Misalnya pada kalimat: “Bila  dicermati, kolam tampak dangkal dari kejauhan”. kata tampak dalam bahasa Indonesia yang benar seharusnya menjadi “Terlihat”. Namun, dalam hal etika jurnalis, saya rasa penulis juga sudah menjalakan aturan itu dengan baik. Ini terlihat bagaimana penulis memberikan 3 orang narasumber yang mempunyai peran penting dimana bisa dibilang mereka merupakan perwakilan suara masyarakat, penulis juga  menuliskan beberapa aturan yang menjadi dasar hukum kasus ini seperti yang terdapat pada ucapan Merah Johansyah : “ Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Padal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa”,”karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH”Setiap pejabat berwenang,”tidak melakukan pengawasan”,”terhadap ketaatan penanggung jawab usaha”atau”kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan”,”mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”,”mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”telah terpenuhi.”Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus bertanggung jawab”.