Rabu, 03 Juni 2015



Nama    : Dewi Desyanti
Nim        : 1402055167





GEROBAK SAMPAH SEBAGAI SUMBER PENGHIDUPAN
Saat adzan subuh mulai berkumandang, seorang pria paruh baya bergegas melaksanakan panggilan Allah SWT, meninggalkan hangatnya selimut tua dan kontrakan sederhana nya demi melaksanakan kewajiban. Kaki rentanya melangkah perlahan menyusuri gelapnya fajar dengan tangan kasar berkapal yang mengandeng sang putra bungsu yang masih berusia 7 tahun.
Ketika mentari mulai menampakan sinarnya, sumarto yang berusia 56 tahun telah bersiap dengan gerobak sampah yang telah menjadi sumber penghasilannya. Sudah 14 tahun ini sumarto bekerja sebagai tukang pengangkut sampah untuk menghidupi ketiga anak dan istrinya. “Setiap hari saya mulai berkeliling dengan gerobak dikompleks-kompleks perumahan untuk mengumpulkan sampah dan saya dibayar Rp. 15.000,00 per bulannya dari setiap rumah.” ujar sumarto.
Pria asli Purworejo ini mulai merantau ke kalimantan timur yang lebih tepatnya ke samarinda pada tahun 2000 dan hanya bermodalkan tekad. Setelah memiliki sedikit modal pada tahun 2001 sumarto mulai mengajak serta kedua anak dan istrinya untuk ikut merantau.”Alhamdullillah, meskipun sering makan seadanya dan tidur berdesak-desakan kami masih bisa berkumpul seperti keluarga pada umumnya” kata sumarto penuh syukur.
Sumarto  bekerja sebagai pengangkut sampah mulai dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore, biasanya sampah-sampah yang bisa didaur ulang dibawa pulang kekontrakan nya didaerah cendana dan dikumpulkan untuk dijual kepengepul barang bekas,”lumayan uangnya untuk uang saku sekolah anak saya”. Pada tahun 2010 istri sumarto mulai berjualan sayur keliling menggunakan sepeda,”karena zaman sudah semakin maju apa-apa jadi semakin mahal dan penghasilan sebagai tukang angkut sampah tidak akan cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak yang semakin tinggi, jadi mau tidak mau istri saya pun turut mencari penghasilan untuk keluarga.”ujar sumarto dengan nada sedih.
Sumarto merupakan seorang ayah yang sadar akan pentingnya pendidikan untuk ketiga anaknya, sehingga membuat sumarto dan sang istri harus bekerja ekstra untuk membiayai sekolah kedua anaknya, ditambah lagi anak bungsunya akan mulai masuk sekolah ditahun ajaran baru mendatang.”saya ingin anak saya tidak sebodoh kedua orang tuanya, dan bisa bekerja dikantoran tidak seperti ayahnya yang bekerja disekeliling sampah, dan tidak dipandang sebelah mata oleh teman-temannya”.
Selain ketiga anak dan istri yang menjadi tanggungan, sumarto juga masih sering mengirimkan sejumlah uang kepada ibunya yang telah berusia senja di purworejo”kasihan ibu, dulu semenjak bapak meninggal  beliau sering banting tulang bekerja dipenggilingan padi hanya untuk memberi makan anak-anaknya sekarang giliran kami anak-anaknya yang menggurus ibu” terkadang sumarto bergantian dengan ketiga kakaknya mengirimkan uang untuk kebutuhan sang ibu,”saya senang meskipun dengan penghasilan saya yang tidak seberapa, saya masih bisa mengirim uang untuk ibu saya dikampung meski tidak dalam jumlah yang banyak.”
Sumarto berkata”penghasilan sebanyak apapun kalo tidak pernah disyukuri pasti akan selalu terasa kurang.” Ada pepatah jawa yang mengatakan “asta ngeppel mboten nampi nopo-nopo,(tangan yang terkepal tidak akan menerima apa-apa)” yang artinya seseorang yang malas membuka tangannya untuk bekerja maka dia tidak akan menerima hasil apa-apa.