Muhammad Mirza Aqmal
1402055143
Delapan
Bocah Tewas di Lubang Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai
Setidaknya delapan bocah meninggal di kolam bekas
tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga saat ini. Korban terakhir bernama
Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran. Bocah berusia
10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenang di bekas galian tambang di
kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada bulan lalu.
Namun hingga kini lubang maut tersebut tetap menganga,
menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya sedikitpun. Lokasi lubang yang
menganga berisi air dengan seluas sekitar 15 X 20 meter tersebut hanya berjarak
puluhan meter dari permukiman warga. Bila dicermati, kolam tampak dangkal dari
kejauhan. Namun menurut warga, bagian terdalam kolam tersebut mencapai lebih
dari 7 meter.
Sepanjang pinggir kolam masih terlihat jelas bekas
kerukan eskavator dan singkapan-singkapan batubara yang belum dikeruk. Dan
hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat di pinggir jalan raya,
tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teronggok begitu saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT 48 Kelurahan Rawa Makmur
mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah mendapat
penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun buah milik warga.
Hanya saja, Pemkot Samarinda melalui pihak Kelurahan
Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan pemerintah terlihat memang abai.
Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun terbukti. Selain sudah merenggut
nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang berada tak jauh dari lubang
semakin tinggi.
Bukan hanya akfititas pengerukan yang mendapat
penolakan dari warga, aktifitas pengangkutan batu bara (hauling) yang
melalui beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena
ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya
diijinkan. Dikatakannya, pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu
bara ke dalam karung – karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti
kemas. “Jadi sebetulnya masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim berencana
akan mengambil upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau keluarga menempuh
jalur hukum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot Samarinda harus
bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah
Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil Walikota Samarinda Nusyirwan
Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah ada korban jiwa maka
ini sudah menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban maka
yang terbaik adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Penjelasan terkait kinerja penambang, menurut
Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan Samarinda. “Apakah lubang
ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini masih aktif tambang. Kalau
area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga warga yang melanggar
kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi. Pemkot harus ada penelitian
yang lebih objektif, tepatnya adalah penyelidikan kepolisian,” kata Nusyirwan.
Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota
Samarinda dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal
112 UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun
Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak melakukan
pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan
terhadap peraturan perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”
telah terpenuhi. “Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus
bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Dari penelusuran Jatam Kaltim kata terlihat bahwa
perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam
keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang plang
atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan
orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam, perusahaan kontraktor
Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT Energi Cahaya Industritama
(ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua untuk skala Kuasa
Pertambangan (KP ) di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa (IBP). Luasannya
mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi sejak 9 November 2010 dan
akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang awalnya meleburkan diri dari 3
perusahaan skala KP ini beroperasi di 4 kelurahan sekaligus yaitu Rawa Makmur,
Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus tewasnya banyak korban
di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya sudah
pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian yang tak pernah
mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang tambang
sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus‑kasus kejahatan
tambang selama ini melibatkan tokoh‑tokoh penting dan pemilik modal selama
ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah, berlarut‑larut tanpa
kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara menurutnya, mestinya
harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti tidak
adanya pengakuan, saksi, surat atau benda‑benda yang ada hubungannya dengan
tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke sejumlah pejabat di
Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim akan mendesak
Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
melakukan supervisi kasus meninggalnya anak – anak di lubang tambang batu bara
di Samarinda. Demikian dikatakan Merah Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan Komisi
Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang dalam 3
tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut sampai
tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah.
Jatam juga kata Merah, sangat bersedia membantu pihak
Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasus‑kasus sebelumnya yang belum
diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami menganjurkan
Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain pasal pidana
umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT ECI,
Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.
Analisis:
Sesuai yang tertera pada artikel berita di atas,
sejauh ini sudah ada 8 anak kecil yang tewas di lubang bekas galian tambang
batu bara di Samarinda. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri, anak
berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat berenang di bekas galian tambang
di daerah Palaran. Kejadian ini tidak akan terjadi jika perusahaan batu bara
bertaggung jawab dan pemerintah tidak memberi izin sembarangan pada perusahaan
batu bara. Galian tambang ini letaknya tak jauh dari pemukiman warga. Padahal ideal
nya lokasi pertambangan harus berada jauh dari pemukiman. Selain itu kurangnya
pengawasan dari pemerintah dan kepolisian saat aktivitas penggalian tambang
juga sangat kurang. Terlihat dari tidak adanya garis pembatas atau police line
di area sekitar tambang. Sehingga memungkinkan bebasnya orang yang tidak
berkepentingan masuk ke area tambang yang berbahaya.
Pemerintah harus memberi sanksi hukum yang tegas pada
perusahaan tambang yang melanggar aturan agar tidak ada lagi yang menjadi
korban. Penggalian tambang batu bara juga harus dikurangi. Pemerintah harus
mempersulit perizinan untuk penggalian tambang. Karena hal ini akan berdampak
buruk, terutama banjir.
Upaya warga sekitar tambang dan pemerintah dalam kasus
ini untuk memperkarakan perusahaan tambang ke meja hijau sangat benar. Tapi
pihak kepolisian harus bertindak tegas, cepat dan terbuka pada publik untuk
kasus ini. Tidak seperti kasus-kasus sebelumnya yang ditutup-tutupi dan lamban
diselesaikan.