Nama : Muhammad Razzaq
Nim :1402055162
Delapan Bocah Tewas di Lubang
Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai
Setidaknya delapan
bocah meninggal di kolam bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur hingga
saat ini. Korban terakhir bernama Nadia Tazkia Putri di RT 43 Kelurahan
Rawa Makmur, Palaran. Bocah berusia 10 tahun ini meninggal tenggelam saat
berenang di bekas galian tambang di kawasan Palaran Samarinda, Kaltim, pada
bulan lalu.
Namun hingga kini lubang maut tersebut
tetap menganga, menunggu nyawa selanjutnya, tanpa tanda bahaya sedikitpun.
Lokasi lubang yang menganga berisi air dengan seluas sekitar 15 X 20 meter
tersebut hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga. Bila dicermati,
kolam tampak dangkal dari kejauhan. Namun menurut warga, bagian terdalam kolam
tersebut mencapai lebih dari 7 meter.
Sepanjang pinggir kolam masih terlihat
jelas bekas kerukan eskavator dan singkapan-singkapan batubara yang belum
dikeruk. Dan hanya berjarak 20an meter dari lubang maut atau tepat di pinggir
jalan raya, tumpukan batu bara yang sudah digali dibiarkan teronggok begitu
saja.
Basuki Rahmat, Ketua RT 48 Kelurahan
Rawa Makmur mengatakan, sejak awal lubang tersebut akan ditambang memang sudah
mendapat penolakan dari warga. Lokasi tambang sebelumnya adalah kebun buah
milik warga.
Hanya saja, Pemkot Samarinda melalui
pihak Kelurahan Rawa Makmur sebagai perpanjangan tangan pemerintah
terlihat memang abai. Dan memang apa yang dikhawatirkan warga pun terbukti.
Selain sudah merenggut nyawa, intensitas banjir di daerah RT 48 yang berada tak
jauh dari lubang semakin tinggi.
Bukan hanya akfititas pengerukan yang mendapat penolakan dari warga,
aktifitas pengangkutan batu bara (hauling) yang
melalui beberapa RT di kelurahan tersebut juga sempat dihentikan. Namun karena
ada kompensasi “uang debu” kepada beberapa warga hauling akhirnya diijinkan. Dikatakannya,
pengumpulan batu bara dilakukan dengan memasukkan batu bara ke dalam karung –
karung untuk selanjutnya diangkut menggunakan peti kemas. “Jadi sebetulnya
masyarakat itu nggak setuju,” kata Basuki.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim
berencana akan mengambil upaya hukum, atas kejadian tersebut.”Kalau keluarga
menempuh jalur hukum, Jatam siap mendampingi. Perusahaan dan Pemkot Samarinda
harus bertanggungjawab atas kelalaiannya yang sudah kesekian kali,” kata Merah
Johansyah, Dimisiator Jatam.
Sementara itu, Wakil Walikota Samarinda
Nusyirwan Ismail ketika dikonfirmasi mengatakan, dikarenakan sudah ada korban
jiwa maka ini sudah menjadi ranah para penegak hukum.
“Karena menyangkut kecelakaan dan
memakan korban maka yang terbaik adalah penyelidikan kepolisian,” kata
Nusyirwan.
Penjelasan terkait kinerja penambang,
menurut Nusyirwan akan lebih jelas pada Dinas Pertambangan Samarinda. “Apakah
lubang ini reklamasi yang tidak dilakukan, apakah area ini masih aktif tambang.
Kalau area aktif tambang apakah ada rambu – rambu sehingga warga yang melanggar
kesitu, atau bagaimana pemkot tidak bisa lagi. Pemkot harus ada
penelitian yang lebih objektif, tepatnya adalah penyelidikan kepolisian,” kata
Nusyirwan.
Jatam berpendapat, Walikota dan Distamben Kota Samarinda dapat diterapkan
Pasal 359 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab
unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal
112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak
melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan
perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”
telah terpenuhi. “Perusahaan tambang dan Pemkot Samarinda harus
bertanggungjawab,” kata Merah Johansyah
Beberapa rumah warga yang tinggal di dekat tambang. Foto: Hendar
Dari penelusuran Jatam
Kaltim kata terlihat bahwa perusahaan tidak mengikuti ketentuan teknik tambang
seperti yang dimuat dalam keputusan menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995,
diantaranya tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak
ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
Dari data yang dimiliki Jatam,
perusahaan kontraktor Cahaya Ramadhan yang bertanggungjawab tersebut PT Energi
Cahaya Industritama (ECI). PT ECI merupakan pemilik konsesi terbesar ke dua
untuk skala Kuasa Pertambangan (KP ) di Samarinda setelah Insani Bara Perkasa (IBP).
Luasannya mencapai 1.977 hektar dan sudah mulai berproduksi sejak 9 November
2010 dan akan berakhir 13 Oktober 2018. Perusahaan yang awalnya meleburkan diri
dari 3 perusahaan skala KP ini beroperasi di 4 kelurahan sekaligus yaitu Rawa
Makmur, Handil Bhakti, Bukuan dan Bantuas.
“Belajar dari penanganan kasus tewasnya
banyak korban di lubang tambang sebelumnya, Jatam Kaltim pada 24 April 2013
sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan kinerja kepolisian yang
tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus kematian anak dilubang
tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus‑kasus
kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh‑tokoh penting dan pemilik modal
selama ini,” lanjut Merah
Penyidikan kasus ini telah, berlarut‑larut
tanpa kepastian. Jika terjadi penghentian penyidikan perkara menurutnya,
mestinya harus sesuai dengan koridor yang diatur oleh pasal 184 KUHAP, seperti
tidak adanya pengakuan, saksi, surat atau benda‑benda yang ada hubungannya
dengan tindak pidana bersangkutan.
Selain akan melayangkan petisi ke
sejumlah pejabat di Samarinda dan Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Kaltim akan mendesak Kapolda Kaltim Brigjen Pol Dicky Atotoy dan Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) melakukan supervisi kasus meninggalnya
anak – anak di lubang tambang batu bara di Samarinda. Demikian dikatakan Merah
Johansyah
“Kami juga mendesak Kapolda Kaltim dan
Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan supervisi atas kasus 8 anak yang
dalam 3 tahun ini menjadi korban lubang tambang dan kasusnya tidak diusut
sampai tuntas. Kapolda harus turun tangan,” kata Merah. Jatam juga kata Merah,
sangat bersedia membantu pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus terakhir
dan kasus – kasus sebelumnya.
“Sekaligus kasus‑kasus sebelumnya yang
belum diselesaikan penyidikannya oleh Kepolisian Samarinda. Kami menganjurkan
Kapolres untuk menggunakan pasal pidana lingkungan hidup selain pasal pidana
umum tentang kelalaian untuk menjerat aktor besar seperti pihak PT ECI,
Distamben bahkan Walikota Samarinda,” lanjutnya.
·
Dalam kasus beritaDelapan Bocah Tewas di Lubang Bekas Tambang, Pemkot Samarinda Abai. Pada
tataran realita, penulis menggambarkan pemberitaan yang cover both side,
objektif dan seimbang. Hal ini terlihat dengan adanya sumber konfirmasi secara
seimbang yaitu pada Masyarakat, Jatam, Wakil Walikota Samarinda serta pihak PT.
Energi Cahaya Industritama (ECI).
·
Dalam kasus ini, Jatam (Jaringan
Advokasi Tambang) Kaltimakan menempuh jalur hukum dan siap mendampingi keluarga
korban. Apabila keluarga meminta pertanggung jawaban atas kelalaian Perusahaan
dan PemkotSamarinda yang sudah kesekian kali.
·
Dalam perkembangan kasus tersebut,Jatam
Kaltim pada 24 April 2013 sebenarnya sudah pernah mengirim surat mempertanyakan
kinerja kepolisian yang tak pernah mempublikasikan hasil penyidikan 7 kasus
kematian anak dilubang tambang sebelumnya. Karena Kepolisian mengendur, apalagi
jika kasus‑kasus kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh‑tokoh penting
dan pemilik modal selama ini.
·
Padahal dalam Pasal 359 Kitab Undang‑Undang
Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH. Sebab unsur “barang siapa“, “karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP maupun Pasal
112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang“, “tidak
melakukan pengawasan“, “terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan
perundang‑undangan dan izin lingkungan“, “mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan”, “mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”
telah terpenuhi.
·
Saya berharap agar semua pihak yang
terlibat dalam kasus ini, untuk duduk bersama agar bisa menyelesaikan masalah
tersebut. Supaya tidak ada lagi korban jiwa di lubang bekas tambang ini.